Kamis, 31 Mei 2012

KECAPIAN


Kecapian merupakan bentuk kesenian yang menggunakan kecapi sebagaiwaditra utama. Di Majalengka tumbuh berbagai ragam bentuk bentuk seni kecapian, antara lain Kecapi Suling, Kecapi Cemplungan, Kecapi Jejaka Sunda, Kecapi Pantun, dan Kecapi Kalaborasi. Berikut disajikan deskripsi tentang keenam ragam seni kecapian tersebut.


1. Kecapi Suling
Kecapi suling yang berkembang di Majalengka terdiri atas Kecapi tembang dan Kecapi Kawih.
1. Kecapi Tembang
Kecapi suling merupakan bentuk kesenian yang memadukan waditra suling. Fungsi kecapi dan suling pada kesenian ini adalah sebagai pengiring lagu-lagu berbentuk tembang dan kawih.
Seni kecapi suling yang mengiringi tembang dikenal dengan Tembang Sunda,. Pada kesenian ini, terdapat dua buah kecapi sebagai pengiring, yaitu kecapi indung dan kecapi rincik. Biasanya kecapi indung disebut juga kecapi perahu sebab bentuknya seperti perahu. Kadang-kadang disebut jugakecapi gelung karena pada kedua ujungnya berbentuk gelung wayang (mahkota). Jumlah kecapi indung ada 18 yang terbuat dari bahan kuningan. Sedangkan suling yang dipergunakan dalam tembang sundaadalah suling berlubang enam yang dapat berfungsi menghasilkan beberapa laras, seperti pelog, madenda (sorog), dan salendro. Khusus untuk tembang yang berlaras salendro biasanya rebab digunakan untuk menggantikan fungsi suling.
Pemain kecapi suling pada tembang sunda terdiri atas seorang pemain kecapi indung, seorang pemain kecapi rincik, seorang peniup suling, dan juru mamaos baik wanita maupun pria. Lagu-lagu atau tembang yang dibawakan dalam tembang sundaterdiri atas empat golonganlagu, yaitu Rarancagan, Papantunan, dedegungan, dan Jejemplangan. Keempat golongan lagu itu termasuk kedalam sekar irama merdika yaitu lagu yang tidak terikat birama. Untuk melangkapi penyajian tembang irama merdika tersebut, biasanya disajikan penambih (lagu tambahan) berupa kawih. Kawih yang disajikan sebagai penambih ini berbentuk sekar tandak, yaitu lagu yang terikat birama, sehingga iringannya terdengar beraturan.
Para pemain kecapi seling tembang sunda berpakaian taqwa dengan warna seragam, memakai bendo, dan berkain panjang. Sedangkan juru mamaos wanita mengenakan kebaya dengan sanggul dan hiasan lainnya.
Di Majalengka tembang sunda dikembangkan oleh para seniman yang pernah mendapat pendidikan tembang sunda dari daerah periangan, baik melalui penataran atau pelatihan, maupun melalui pendidikan sekolah (SMK dan STSI). Tokoh-tokoh seniman yang berjasa mengembangkan tembang sunda diwilayah Majalengka antara lain Samsuri, E. Kusnadi, Oyo Suharja, Amin Choeruman, dan Soni Supriatna. Walaupun tidak melalui pendidikan khusus, di majalengka lahir beberapa orang juru mamaos wanita yang turut meramaikan khasanah tembang sunda, antara lain Titin Supartini, Tati, Lia Marliani, dll.
2. Kecapi Kawih
Kawih adalah bentuk karawitan sekar (vokal) yang terikat oleh birama atau ketukan. Kecapi untuk mengiringi kawih berbeda dengan kecapi pengiring tembang. Kecapi yang digunakan untuk mengiringi kawih ini adalah kecapi siter dengan julah kawat 20. Biasanya menggunakan satu atau dua buah kecapi. Jjika menggunakan dua buah kecapi, salah satu di antaranya berfungsi sebagai kecapi indung dan yang lainnya sebagai rincik. Suling pada kecapi kawih ini berfungsi sebagai lilitan lagu yang kadang-kadang tempatnya digantikan oleh rebab sesuai dengan kebutuhan lagu. Vokalis pada kesenian ini disebut juru sekar atau juru kawih.
Kesenian ini biasanya tampil menghibur dalam berbagai acara, baik acara seremonial biasa maupun acara-acara hajatan. Hingga saat ini dikenal beberapa pelaku seni kecapi kawih yang andal di Majalengka, di antaranya E. Kusnadi, Oyo suharja, Wasman Rukmana, Daryono, Risnandar, Soni Supriatna (suling dan rebab), Aceng Hidayat (suling), Dede Carmo, Rasma Sudrajat, dan Dadang.
Kesenian kecapi kawih saat ini juga dikembangkan melalui media radio, yaitu melalui siaran Haleuang Pasundan di Radika 100,3 FM Majalengka oleh Group Panghegar. Kelompok seni kawih lainnya antara lain Manik mekar Saputra (Cigasong), tandang Midang (Munjul), dan Kania Setra (Maja).

2. Kecapi Cemplungan
Waditra yang digunakan pada kecapi cemplungan bukan hanya kecapi dan suling, akan tetapi ditambah dengan waditra lain lain sepeti gendang dan gong. Penyajian musik pada jenis kesenian ini terasa lebih lengkap karena beberapa waditra yang berneda dibunyikan dalam suatu sajian yang harmonis. Lagu-lagu yang dibawakan adalah sekar tandak atau kawih. Pada kecapi cemplungan ini, rebab lebih banyak difunsikan jika lagu-lagu dibawakan dalam laras salendro. Untuk menambah daya tarik kepada penonton, penyajian kecapi cemplungan kadang-kadang ditambah pula dengan penari jaipongan, karena musik yang dibawakan melalui kecapi cemplungan memungkinkan tampilnya penari jaipongan melalui lagu-lagu yang selaras.
Group-group kesenian yang siap menampilakan seni cemplungan antara lain Manik Mekar Saputra, Sanggar Panghegar, Tandang Midang, dan Kania Setra.

3. Kecapi Jejaka Sunda
Kecapi jejaka sunda merupakan jenis seni kecapian yang menyajikan lagu-lagu yang jenaka atau luca dalam irama bebas. Jenis kecapian yang digunakan adalah kecapi siter. Pelakunya tediri atas seorang pemain kecapi yang berpera juga sebagai penyanyi ditambah dengan seorang atau dua orang pemain yang semuanya memiliki kemampuan lagu-lagu jenaka.
Kecapi jenaka sunda di Majalengka dikembangkan pada waktu kelompok kesenian PG Kadipaten (tahun 1970-an) masih aktif, dengan seorang dalangnya yang kreatif yaitu Edi Jubaedi. Pemain lainnya yang terkenal adalah Abah Duleh, Abah Bontot, Mang Uu Wahyu, dan Mang Pentil. Generasi berikutnya adalah Karjo, Iwan Abok, Casma (Mang Cemeng), Ikin Sodikin (Mang jangkung).
Pada saat sekarang, kecapi jenaka sunda meskipun jerang sekali ditampilkan dapat dipesan melalaui group Mustika Budaya (Cigasong) dan Tandansg Midang (Munjul).

4. Kecapi Pantun
Kecapi Pantun merupakan sajian kecapian sebagai mendia pengantar atau pengiring ketika sang juru pantun membawa cerita. Pengertian pantun secara harfiah menurut Saleh Danasasmita adalah  “ cerita, balada, dongeng atau sejarah masa silam, umumnya mengenai kerajaan Pajajaran (dibawakan dengan nyanyian, diiringi tarawangsa atau kecapi). (Saleh, 1974). Sedangkan menurut para juru pantun merupakan wancahan atau singkatan dari kata papan nu jadi panungtun. Artinya melalui cerita pantun penonton atau pendengar mendapat tutunan hidup.
Kesenian pantun merupakan jenis kesenian yang didukung oleh unsure-unsur seni sastra dan karawitan. Unsur sastra tampak pada cerita pantun yang dibawakan. Cerita pantun yang semula hanya merupakan cerita lisan. Sekarang sudah banyak yang ditulis berupa buku. Unsur seni karawitan tampak pada iringan widatra kecapi yang dipetik selama pertunjukan pantun dilaksanakan.
Karakteristik penyajian pantun secara tradisional adalah :
  1. Pelaku kesenian ini hanya 1 orang.
  2. sebelum pergelaran dilakukan upacara berupa penyiapan sesajen (sesaji) dan membaca mantra oleh juru pantun sambil membakar kemenyan.
  3. kecapi yang digunakan adalah kecapi indung, atau kecapi biasa dengan jumlah kawat 18 buah.
  4. hingga sekarang masih dianggap sebagai kesenian yang sakral.
Karakteristik pertama bahwa pelaku pantun hanya 1 orang, ini senada dengan penuturan Ajip Rosidi (1983 32) bahwa di daerah Cirebon peruntunjukan pantun hanya dilakukan oleh seorang juru pantun, tanpa teman main lainnya. Namun kenyataan kemudian menunjukkan bahwa upaya survive agar pantun tetap digemari maka pada kesenian ini ditambahkan waditra lain, seperti piul (biola), seorang sinden, dan bahkan gamelan, sehingga pertunjukan pantun tidak ubahnya pertunjukan wayang catur (cerita wayang tanpa wayang) (Ajip Rosidi, 1983 33).
Sesuai dengan jiwa sakralitas yang diusungnya, kesenian pantun selain dipertunjukkan untuk keperluan tontonan, digunakan juga untuk keperluan ruwatan. Tatakrama ruwatan dan kelengkapan Iainnya tidak berbeda dengan acara ruwatan yang dilaksanakan menggunakan kesenian wayang (golek maupun kulit).
Pada umumnya, alur cerita dimulai dengan Rajah Pamuka, diteruskan dengan mangkat carita, nataan karajaan dan para tokoh cerita, selanjutnya bercerita. Pada akhir cerita ditutup dengan melantunkan lagu Rajah Pamunah atau Rajah Penutup.
Cerita-cerita pantun yang terkenal antara lain Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Jaran Sari, Raden Deudeug Pati Jaya Perang, Panggung Karaton, Demung Kalagan, Nyi Pohaci Sanghiang Sri, dll.
Tokoh-tokoh atau jurupantun terkenal dari Majalengka adalah
  1. Saein dari Kelurahan Tonjong;
  2. Sidik dari Bantarjati;
  3. Warwa dari Desa Jatitujuh;
  4. Maun dari Pasir
  5. Nadi dari Desa Kutamanggu;
  6. Baedi dari Desa Kadipaten;
  7. Kusma dari Desa Kadipaten;
  8. Cecep dari Desa Waringin;
  9. Rasim dari Desa Mandapa;
  10. Iwan Ompong dari Desa Bojong Cideres.
Dari kesepuluh orang jurupantun di atas, yang masih hidup adalah Cecep, Rasim, dan Iwan Ompong. Ketiganya sudah berusia cukup lanjut. Karena itu perlu ada upaya regenerasi agar kesenian ini tidak mengalami kepunahan.

5. Kecapi Kolaborasi
Kecapi kolaborasi dikembangkan oleh para seniman muda Majalengka seperti Oyo Suharja dan kawan-kawan. Pada kesenian ini waditra yang digunakan adalah, kecapi siter, gitar akustik, cuk, gitar bas, biota, ruling, gendang, dan gong. Jumlah pernain musik yang, terlibat di dalamnya mencapai
sepuluh orang, yang masing-masing memegang alat musik y.iii{j berbeda. Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu kowlli Sunda, lagu-lagu pop Sunda, dan bahkan mampu mengiriiigi
lagu-lagu Indonesia Populer.
Di dalam penyajiannya, para pemusik tidak duduk bersila sebagaimana kesenian Sunda lainnya. Kecapi yang digunakan disimpan di atas sebuah standar sehingga pemain
kecapi dapat memainkannya sambil duduk di atas kursi. Demikian pula dengan, pemain musik lainnya. Jumlah penyanyi atau juru sekar pada kesenian ini dapat lebih dari satu orang.
Kecapi kolaborasi di Majalengka pertama kali diperkenalkan pada waktu Gelar Seni Tradisi 1 tanggal 26 Desember 2004. Sanggar Panghegar (Radika FM Majalengka) pimpinan Wasman Rukmana adalah satu-satunya kelompok kesenian yang menyajikan jenis kesenian ini.