KECAPIAN
Kecapian
merupakan bentuk kesenian yang menggunakan kecapi sebagaiwaditra utama.
Di Majalengka tumbuh berbagai ragam bentuk bentuk seni kecapian, antara
lain Kecapi Suling, Kecapi Cemplungan, Kecapi Jejaka Sunda, Kecapi
Pantun, dan Kecapi Kalaborasi. Berikut disajikan deskripsi tentang
keenam ragam seni kecapian tersebut.
1. Kecapi Suling
Kecapi suling yang berkembang di Majalengka terdiri atas Kecapi tembang dan Kecapi Kawih.
1. Kecapi Tembang
Kecapi suling
merupakan bentuk kesenian yang memadukan waditra suling. Fungsi kecapi
dan suling pada kesenian ini adalah sebagai pengiring lagu-lagu
berbentuk tembang dan kawih.
Seni kecapi suling yang mengiringi tembang dikenal dengan Tembang Sunda,. Pada kesenian ini, terdapat dua buah kecapi sebagai pengiring, yaitu kecapi indung dan kecapi rincik.
Biasanya kecapi indung disebut juga kecapi perahu sebab bentuknya
seperti perahu. Kadang-kadang disebut jugakecapi gelung karena pada
kedua ujungnya berbentuk gelung wayang (mahkota). Jumlah kecapi indung
ada 18 yang terbuat dari bahan kuningan. Sedangkan suling yang
dipergunakan dalam tembang sundaadalah suling berlubang enam yang dapat
berfungsi menghasilkan beberapa laras, seperti pelog, madenda (sorog),
dan salendro. Khusus untuk tembang yang berlaras salendro biasanya rebab
digunakan untuk menggantikan fungsi suling.
Pemain kecapi suling
pada tembang sunda terdiri atas seorang pemain kecapi indung, seorang
pemain kecapi rincik, seorang peniup suling, dan juru mamaos baik wanita
maupun pria. Lagu-lagu atau tembang yang dibawakan dalam tembang
sundaterdiri atas empat golonganlagu, yaitu Rarancagan, Papantunan, dedegungan, dan Jejemplangan.
Keempat golongan lagu itu termasuk kedalam sekar irama merdika yaitu
lagu yang tidak terikat birama. Untuk melangkapi penyajian tembang irama
merdika tersebut, biasanya disajikan penambih (lagu tambahan) berupa
kawih. Kawih yang disajikan sebagai penambih ini berbentuk sekar tandak,
yaitu lagu yang terikat birama, sehingga iringannya terdengar
beraturan.
Para pemain kecapi
seling tembang sunda berpakaian taqwa dengan warna seragam, memakai
bendo, dan berkain panjang. Sedangkan juru mamaos wanita mengenakan
kebaya dengan sanggul dan hiasan lainnya.
Di Majalengka
tembang sunda dikembangkan oleh para seniman yang pernah mendapat
pendidikan tembang sunda dari daerah periangan, baik melalui penataran
atau pelatihan, maupun melalui pendidikan sekolah (SMK dan STSI).
Tokoh-tokoh seniman yang berjasa mengembangkan tembang sunda diwilayah
Majalengka antara lain Samsuri, E. Kusnadi, Oyo Suharja, Amin Choeruman, dan Soni Supriatna. Walaupun
tidak melalui pendidikan khusus, di majalengka lahir beberapa orang
juru mamaos wanita yang turut meramaikan khasanah tembang sunda, antara
lain Titin Supartini, Tati, Lia Marliani, dll.
2. Kecapi Kawih
Kawih adalah bentuk
karawitan sekar (vokal) yang terikat oleh birama atau ketukan. Kecapi
untuk mengiringi kawih berbeda dengan kecapi pengiring tembang. Kecapi
yang digunakan untuk mengiringi kawih ini adalah kecapi siter dengan
julah kawat 20. Biasanya menggunakan satu atau dua buah kecapi. Jjika
menggunakan dua buah kecapi, salah satu di antaranya berfungsi sebagai
kecapi indung dan yang lainnya sebagai rincik. Suling pada kecapi kawih
ini berfungsi sebagai lilitan lagu yang kadang-kadang tempatnya
digantikan oleh rebab sesuai dengan kebutuhan lagu. Vokalis pada
kesenian ini disebut juru sekar atau juru kawih.
Kesenian ini
biasanya tampil menghibur dalam berbagai acara, baik acara seremonial
biasa maupun acara-acara hajatan. Hingga saat ini dikenal beberapa
pelaku seni kecapi kawih yang andal di Majalengka, di antaranya E.
Kusnadi, Oyo suharja, Wasman Rukmana, Daryono, Risnandar, Soni Supriatna
(suling dan rebab), Aceng Hidayat (suling), Dede Carmo, Rasma Sudrajat,
dan Dadang.
Kesenian kecapi kawih saat ini juga dikembangkan melalui media radio, yaitu melalui siaran Haleuang Pasundan di Radika 100,3 FM Majalengka oleh Group Panghegar. Kelompok seni kawih lainnya antara lain Manik mekar Saputra (Cigasong), tandang Midang (Munjul), dan Kania Setra (Maja).
2. Kecapi Cemplungan
Waditra yang
digunakan pada kecapi cemplungan bukan hanya kecapi dan suling, akan
tetapi ditambah dengan waditra lain lain sepeti gendang dan gong.
Penyajian musik pada jenis kesenian ini terasa lebih lengkap karena
beberapa waditra yang berneda dibunyikan dalam suatu sajian yang
harmonis. Lagu-lagu yang dibawakan adalah sekar tandak atau kawih. Pada
kecapi cemplungan ini, rebab lebih banyak difunsikan jika lagu-lagu
dibawakan dalam laras salendro. Untuk menambah daya tarik kepada
penonton, penyajian kecapi cemplungan kadang-kadang ditambah pula dengan
penari jaipongan, karena musik yang dibawakan melalui kecapi cemplungan
memungkinkan tampilnya penari jaipongan melalui lagu-lagu yang selaras.
Group-group kesenian
yang siap menampilakan seni cemplungan antara lain Manik Mekar Saputra,
Sanggar Panghegar, Tandang Midang, dan Kania Setra.
3. Kecapi Jejaka Sunda
Kecapi jejaka sunda
merupakan jenis seni kecapian yang menyajikan lagu-lagu yang jenaka atau
luca dalam irama bebas. Jenis kecapian yang digunakan adalah kecapi
siter. Pelakunya tediri atas seorang pemain kecapi yang berpera juga
sebagai penyanyi ditambah dengan seorang atau dua orang pemain yang
semuanya memiliki kemampuan lagu-lagu jenaka.
Kecapi jenaka sunda
di Majalengka dikembangkan pada waktu kelompok kesenian PG Kadipaten
(tahun 1970-an) masih aktif, dengan seorang dalangnya yang kreatif yaitu
Edi Jubaedi. Pemain lainnya yang terkenal adalah Abah Duleh, Abah Bontot, Mang Uu Wahyu, dan Mang Pentil. Generasi berikutnya adalah Karjo, Iwan Abok, Casma (Mang Cemeng), Ikin Sodikin (Mang jangkung).
Pada saat sekarang,
kecapi jenaka sunda meskipun jerang sekali ditampilkan dapat dipesan
melalaui group Mustika Budaya (Cigasong) dan Tandansg Midang (Munjul).
4. Kecapi Pantun
Kecapi Pantun
merupakan sajian kecapian sebagai mendia pengantar atau pengiring ketika
sang juru pantun membawa cerita. Pengertian pantun secara harfiah
menurut Saleh Danasasmita adalah “ cerita, balada, dongeng
atau sejarah masa silam, umumnya mengenai kerajaan Pajajaran (dibawakan
dengan nyanyian, diiringi tarawangsa atau kecapi). (Saleh, 1974). Sedangkan menurut para juru pantun merupakan wancahan atau singkatan dari kata papan nu jadi panungtun. Artinya melalui cerita pantun penonton atau pendengar mendapat tutunan hidup.
Kesenian pantun
merupakan jenis kesenian yang didukung oleh unsure-unsur seni sastra dan
karawitan. Unsur sastra tampak pada cerita pantun yang dibawakan.
Cerita pantun yang semula hanya merupakan cerita lisan. Sekarang sudah
banyak yang ditulis berupa buku. Unsur seni karawitan tampak pada
iringan widatra kecapi yang dipetik selama pertunjukan pantun
dilaksanakan.
Karakteristik penyajian pantun secara tradisional adalah :
- Pelaku kesenian ini hanya 1 orang.
- sebelum pergelaran dilakukan upacara berupa penyiapan sesajen
(sesaji) dan membaca mantra oleh juru pantun sambil membakar kemenyan.
- kecapi yang digunakan adalah kecapi indung, atau kecapi biasa dengan jumlah kawat 18 buah.
- hingga sekarang masih dianggap sebagai kesenian yang sakral.
Karakteristik
pertama bahwa pelaku pantun hanya 1 orang, ini senada dengan penuturan
Ajip Rosidi (1983 32) bahwa di daerah Cirebon peruntunjukan pantun hanya
dilakukan oleh seorang juru pantun, tanpa teman main lainnya. Namun
kenyataan kemudian menunjukkan bahwa upaya survive agar pantun tetap
digemari maka pada kesenian ini ditambahkan waditra lain, seperti piul (biola),
seorang sinden, dan bahkan gamelan, sehingga pertunjukan pantun tidak
ubahnya pertunjukan wayang catur (cerita wayang tanpa wayang) (Ajip
Rosidi, 1983 33).
Sesuai dengan jiwa
sakralitas yang diusungnya, kesenian pantun selain dipertunjukkan untuk
keperluan tontonan, digunakan juga untuk keperluan ruwatan. Tatakrama
ruwatan dan kelengkapan Iainnya tidak berbeda dengan acara ruwatan yang
dilaksanakan menggunakan kesenian wayang (golek maupun kulit).
Pada umumnya, alur
cerita dimulai dengan Rajah Pamuka, diteruskan dengan mangkat carita,
nataan karajaan dan para tokoh cerita, selanjutnya bercerita. Pada akhir
cerita ditutup dengan melantunkan lagu Rajah Pamunah atau Rajah
Penutup.
Cerita-cerita pantun yang terkenal antara lain Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Jaran Sari, Raden Deudeug Pati Jaya Perang, Panggung Karaton, Demung Kalagan, Nyi Pohaci Sanghiang Sri, dll.
Tokoh-tokoh atau jurupantun terkenal dari Majalengka adalah
- Saein dari Kelurahan Tonjong;
- Sidik dari Bantarjati;
- Warwa dari Desa Jatitujuh;
- Maun dari Pasir
- Nadi dari Desa Kutamanggu;
- Baedi dari Desa Kadipaten;
- Kusma dari Desa Kadipaten;
- Cecep dari Desa Waringin;
- Rasim dari Desa Mandapa;
- Iwan Ompong dari Desa Bojong Cideres.
Dari kesepuluh orang jurupantun di atas,
yang masih hidup adalah Cecep, Rasim, dan Iwan Ompong. Ketiganya sudah
berusia cukup lanjut. Karena itu perlu ada upaya regenerasi agar
kesenian ini tidak mengalami kepunahan.
5. Kecapi Kolaborasi
Kecapi kolaborasi
dikembangkan oleh para seniman muda Majalengka seperti Oyo Suharja dan
kawan-kawan. Pada kesenian ini waditra yang digunakan adalah, kecapi
siter, gitar akustik, cuk, gitar bas, biota, ruling, gendang, dan gong.
Jumlah pernain musik yang, terlibat di dalamnya mencapai
sepuluh orang, yang
masing-masing memegang alat musik y.iii{j berbeda. Lagu-lagu yang
dibawakan adalah lagu-lagu kowlli Sunda, lagu-lagu pop Sunda, dan bahkan
mampu mengiriiigi
lagu-lagu Indonesia Populer.
Di dalam
penyajiannya, para pemusik tidak duduk bersila sebagaimana kesenian
Sunda lainnya. Kecapi yang digunakan disimpan di atas sebuah standar
sehingga pemain
kecapi dapat
memainkannya sambil duduk di atas kursi. Demikian pula dengan, pemain
musik lainnya. Jumlah penyanyi atau juru sekar pada kesenian ini dapat
lebih dari satu orang.
Kecapi kolaborasi di
Majalengka pertama kali diperkenalkan pada waktu Gelar Seni Tradisi 1
tanggal 26 Desember 2004. Sanggar Panghegar (Radika FM Majalengka)
pimpinan Wasman Rukmana adalah satu-satunya kelompok kesenian yang
menyajikan jenis kesenian ini.