Senin, 04 Juni 2012

KERAGAAN INOVASI PERTANIAN ALAMIAH PRA PELAKSANAAN PROGRAM PRIMA TANI DI KABUPTEN HALMAHERA BARAT


KERAGAAN INOVASI PERTANIAN ALAMIAH PRA PELAKSANAAN PROGRAM PRIMA TANI DI KABUPTEN HALMAHERA BARAT

Indra Heru H, Nofyarjasri Saleh, dan M. Seni S. Kulle
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
email : handaruan@yahoo.com

ABSTRAK
Prima Tani  merupakan suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi dan kelembagaan yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian yang didasarkan pada partisipasi masyarakat. Langkah awal dalam pelaksanaan  Prima Tani adalah dilakukannya Participatory Rural Appraisal (PRA)/Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif untuk mengidentifikasi masalah petani dan memberikan solusi masalah tersebut melalui inovasi pertanian. Kegiatan dilaksanakan di Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat pada Desember 2006. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa secara umum permasalahan yang dihadapi petani di lahan kering Desa Akediri adalah rendahnya produktivitas pertanian yang diusahakan baik tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan ternak yang mengakibatkan rendahnya pendapatan petani. Inovasi pertanian yang dibutuhkan adalah melalui PTT, akan tetapi juga teknologi pasca panen komoditas tanaman pangan (jagung dan padi gogo) dan perkebunan (kelapa), serta teknologi pengandangan, penyediaan dan pemberian pakan, serta penanganan kesehatan pada usaha ternak. Aspek non teknis yang diperlukan untuk mendukung usahatani di lahan kering adalah penumbuhan Gapoktan  dengan dukungan sarana prasarana yang diperlukan yaitu Klinik Agribisnis sebagai tempat konsultasi dan pelayanan serta diseminasi teknologi yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian media tercetak yang diiikuti dengan demplot.
Kata kunci : Prima tani, Inovasi pertanian, PRA.

PENDAHULUAN
Pertanian dan perdesaan merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Pertanian merupakan komponen utama penopang kehidupan pedesaan. Sebagian besar rumah tangga perdesaan beraktivitas di pertanian walaupun banyak di antara rumahtangga tersebut sumber pendapatan utamanya berasal dari aktivitas non-pertanian. Dalam hal ini tidak hanya sebatas pertanian dalam arti sempit, namun dalam arti luas termasuk di dalamnya adalah pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Upaya percepatan pembangunan pertanian tidak terlepas dari dukungan ketersediaan inovasi pertanian di tingkat pengguna potensial. Dukungan  tersebut tidak hanya pada segmen penyediaan inovasi pertanian (generating subsystem), tetapi juga pada penyampaian inovasi (delivery subsystem), serta partisipasi aktif penerimaan inovasi (receiving subsystem). 
Walaupun selama ini telah banyak teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian publik, tetapi terjadi kelambanan dalam penerapan inovasi teknologi yang dihasilkan oleh masyarakat pertanian secara luas (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004). Perlambatan tingkat adopsi teknologi yang dihasilkan oleh institusi penelitian/pengkajian dapat disebabkan antara lain oleh kurang/tidak efektifitas diseminasi dan proses alih teknologi dari lembaga penelitian/pengkajian kepada pengguna antara (penyuluhan dan stakeholders) dan kepada petani serta pelaku agribisnis lainnya kurang efektif (Sulaiman, 2002).
Teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian memerlukan waktu relatif lama ntuk sampai kepada pengguna. Menurut hasil penelitian yang disitir oleh Mundy (2000), diperlukan waktu sekitar 2 tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan dari Badan Litbang Pertanian diketahui oleh 50% Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), dan 6 tahun sebelum 80% PPS mendengar teknologi tersebut. Waktu yang diperlukan akan lebih lama lagi untk sampai ke tangan petani.
Salah satu contoh dari lambatnya tingkat adopsi teknologi Badan Litbang oleh petani adalah penggunaan varietas unggul baru (VUB) padi sawah. Dari 54 VUB yang dilepas Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi antara tahun 1995-2003, hanya 5-10 varietas saja yang dominan ditanam petani dengan luasan lebih dari 200.000 ha/varietas (Las et al, 2004). Pertanaman paling luas adalah IR64 yang justru dilepas tahun 1986. Hal tersebut menunjukkan kurangnya sosialisasi dari varietas ungul tersebut (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Dalam rangka penderasan adopsi inovasi pertanian yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian kepada masyarakat luas salah satunya adalah program Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian atau Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004). Prima Tani  merupakan suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi dan kelembagaan yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian yang didasarkan pada partisipasi masyarakat.
Secara spesifik kegiatan ini memiliki tujuan:  (a) Memahami secara mendalam masalah yang dihadapi masyarakat desa dalam pengembangan agribisnis: (b) Mengidentifikasi upaya antisipasi yang efektif dan efisien melalui kegiatan inovasi teknologi yang dimiliki Badan Litbang Pertanian.

METODOLOGI
Langkah awal dalam pelaksanaan  Prima Tani adalah dilakukannya Participatory Rural Appraisal (PRA)/Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif. Pelaksanaan PRA ditujukan untuk mengumpulkan dan menganalisis berbagai informasi yang dibutuhkan dalam rangka perancangan jenis-jenis inovasi yang akan dikembangkan berdasarkan masalah dan potensi agroekosistem yang ada. Menurut Sri Wahyuni (2000), metode PRA merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengidentifikasi masalah petani dan memberikan solusi masalah tersebut melalui inovasi pertanian.
Kegiatan ini dilaksanakan pada Desember 2006 di Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat sebagai salah satu yang daerah dijadikan lokasi Prima Tani di Provinsi Maluku Utara dimana BPTP Maluku Utara bertindak sebagai pelaksana lapang. Pengambilan data PRA meliputi: (a) wawancara mendalami/Indepth Interview; (b) pengamatan/Observasi; (c) pengamatan pelibatan/Participation Observasi, (d) Focus Group Discussion.
Informasi yang harus dikumpulkan meliputi :
(1)     Jenis tanaman dan ternak yang diusahakan petani beserta peranannya terhadap pendapatan rumahtangga, potensi pasar, pemanfaatan limbah yang dihasilkan, dan kesesuaian agroklimat.
(2)     Potensi sumberdaya lahan, air, manusia, dan infrastruktur menurut blok hamparan lahan.
(3)     Kinerja teknologi dan kinerja hasil kegiatan agribisnis di bidang usahatani/produksi, input usahatani, pasca panen, pengolahan dan pemasaran.
(4)     Kinerja kelembagaan agribisnis dalam rangka mengkaji peluang inovasi kelembagaan. Kelembagaan agribisnis meliputi seluruh elemen lembaga agribisnis mulai dari pengadaan sarana input usahatani, hingga pemasaran hasil, dan lembaga pendukung agribisnis.
(5)     Masalah teknis dan kelembagaan agribisnis yang dihadapi oleh praktisi agribisnis.
Unit analisis dalam kegiatan PRA adalah rumah tangga. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif melalui proses kodefikasi, kategorisasi, interpretasi, pemaknaan, dan abstraksi. Data dan informasi kuantitatif dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi
Sumberdaya iklim dan air merupakan faktor dominan dalam menentukan tingkat kesesuaian lahan, produktivitas, mutu hasil pertanian dan pemilihan teknologi yang sesuai dengan karakteristik setiap wilayah (Las et al, 1997).
Menurut klasifikasi Oldeman (1977), Kabupaten Halmahera Barat Maluku Utara tergolong ke dalam zona agroklimat B-1, yaitu tanpa memiliki bulan kering dengan 8 bulan basah dengan puncak periode basah pada Juni (313 mm) dan puncak periode kering pada September (147 mm). Sedangkan menurut Schmidt & Fergusson (1951), termasuk tipe hujan A karena mengalami bulan basah sepanjang tahun.
Tanah di lokasi pengkajian termasuk ordo inceptisols dan mollisols dengan karakteristik  tekstur lempung liat berdebu sampai lempung liat berpasir, konsistensi agak lekat dan tidak plastis (basah), gembur (lembab) dan drainase baik sampai cepat. Status kesuburan tanah tergolong rendah sampai sedang dengan kandungan bahan organik umumnya rendah.
Potensi Sumber Daya Pertanian
Desa Akediri selain terdiri dari lahan kering berupa kebun campuran (kelapa,  cengkeh, pisang, dll) seluas 167,63 ha ( 23,70 %), ladang (jagung, padi gogo, ubi kayu dll) seluas 193,78 ha ( 27,44 %),  dan kebun kelapa seluas 336,03 ha (47,59%) (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Halmahera Barat, 2005). Seluruh lahan yang ada di Desa Akediri adalah tanah milik petani sendiri, namun dalam pengelolaannya sebagian besar digarap sendiri dan hanya sebagian kecil saja yang merupakan sewa. Tingkat kepemilikan lahan 0,5-1 ha/rumah tangga petani.
Sebelum tahun 1921 pertanian yang diusahakan penduduk asli adalah padi gogo dengan sistem ladang berpindah. Semenjak kedatangan sekelompok orang Jawa tahun 1921, mulai diperkenalkan cara bercocok tanam jagung, padi gogo, kelapa, coklat, cengkeh dan sayuran. Hal tersebut ditiru dan dikembangkan masyarakat asli hingga sekarang. Komoditas yang paling menonjol diusahakan sampai sekarang adalah kelapa, jagung, dan padi gogo. Disamping memiliki kebun dan tegalan, petani juga memelihara ternak antara lain sapi, kambing dan ayam buras.

Pola Tanam dan Cabang Usahatani yang Diusahakan
Pola tanam mengikuti adanya pola curah hujan,  karena tanaman yang satu akan berbeda kebutuhan airnya dengan tanaman lainnya. Tanaman pangan yang paling banyak diusahakan adalah jagung dan padi gogo. Jagung ditanam sepanjang tahun (Januari-Desember), sementara padi gogo pada bulan November. Sebagian besar petani menerapkan pola tanam padi-jagung-jagung dan sebagian yang lain menerapkan pola tanam jagung-jagung-jagung dan padi-jagung-bera. Selain jagung dan padi gogo, penduduk juga mengusahakan ubi kayu, kacang tanah serta sayuran.Tanaman perkebunan yang paling banyak diusahakan adalah kelapa, baik diusahakan secara monokultur maupun dicampur dengan cengkeh, pisang dan pala.
Jenis ternak yang dipelihara antara lain sapi, kambing dan ayam buras. Ternak yang dominan adalah sapi bali dengan kepemilikan 1 – 2 ekor per rumah tangga. Sapi digunakan sebagai ternak kerja untuk pengolahan lahan dan tabungan. Sedangkan kambing kacang tingkat kepemilikannya antara 4 – 5 ekor per rumah tangga.

Penerapan Teknologi di Tingkat Petani
Tanaman terbanyak yang masih dipelihara adalah kelapa. Petani hanya melakukan panen tanpa melakukan penanaman, pemupukan dan perawatan, sehingga masih sering terjadi serangan hama terutama Sexava. Hasil panen diolah menjadi kopra. Tingkat produksi kopra mencapai 400-500 kg/ha/panen, sehingga dalam 1 tahun (3 kali panen), produksinya rata-rata berkisar antara 1400-1500 kg/ha, masih rendah dari produkrivitas kopra nasional yang mencapai 2400-3000 kg/ha (Badan Litbang pertanian, 2005).
Dari beberapa komoditas yang ada, petani cenderung mempertahankan dan mengembangkan komoditas jagung sebagai komoditas utama. Hal ini bisa dilihat dari hampir seluruh lahan yang ada di desa Akediri ditanami jagung. Luas areal tanam jagung di Desa akediri tercatat 98 ha (Kecamatan Jailolo, 2006). Petani masih menanam jagung walaupun terkendala dalam hal pemasaran, dimana jumlah pembeli yang sedikit dengan dengan harga rendah, serangan hama, serta pupuk yang langka dan mahal.
Varietas jagung yang digunakan umumnya adalah Bisi 2, namun ada juga yang menanam Lamuru dan Metro (yang oleh penduduk setempat disebut varietas lokal). Pengolahan tanah dengan 3 kali bajak dan umumnya sudah menggunakan traktor, walaupun masih ada yang menggunakan ternak sapi. Jarak tanam tidak beraturan dan tergantung pada ketersediaan benih. Penyiangan tanaman dilakukan satu atau dua kali tergantung pada kepadatan populasi gulma. Pemupukan dilakukan selama 2 kali, umumnya hanya menggunakan urea dengan takaran yang terdiri dari 100 kg/ha. Hanya sebagian kecil saja yang melengkapinya dengan SP 36 dan KCl dengan takaran masing-masing 50 kg/ha. Bahkan masih ada beberapa petani yang sama sekali tidak menggunakan pupuk pada usahatani jagungnya.
Sistem panen yang digunakan ada 2 macam yaitu jagung muda (75 hari) dengan produksi  rata-rata 2,7 ton/ha dan jagung kering (90-100 hari) dengan tingkat produksi rata-rata 1,8 ton/ha, lebih rendah dibanding produktivitas nasional yang mencapai 3,45 ton biji kering/ha (Pabbage et al, 2008). Sistem panen yang digunakan tergantung pada permintaan pasar dan harga.  Jika jagung muda lebih diminati pasar dan harga lebih tinggi, maka petani akan memanen jagung pada usia muda, demikian juga sebaliknya.
Selain jagung, tanaman lain yang banyak diusahakan adalah padi gogo. Walaupun pengelolaan padi ladang dirasakan lebih sulit, mahal, dan kurang menguntungkan, namun tetap diusahakan untuk keperluan konsumsi keluarga. Tingkat produktivitas padi gogo di Desa Akediri hanya mencapai 2 ton/ha, lebih rendah dibanding produktivitas nasional yang mencapai 2,58 ton/ha (Suwarno et al, 2008). Benih yang digunakan adalah varietas lokal Kayeli dan Pulo. Pembajakan dilakukan 6 kali dengan menggunakan traktor atau ternak sapi.  Pemupukan hanya menggunakan urea dengan takaran 50 kg/ha. Panen dilakukan saat umur padi mencapai 6 bulan dalam 1 tahun hanya 1 kali panen.
Ternak sapi Bali digunakan sebagai ternak kerja untuk pengolahan lahan dan tabungan. Ternak sapi tetap dipelihara walaupun masih secara tradisional dengan pola ikat pindah di bawah pohon kelapa. Ditinjau dari faktor teknis, pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak relatif sederhana dengan tingkat penerapan teknologi tepat guna sangat rendah.

Permasalahan Usahatani
(Teknis)
Pada komoditas kelapa masalah yang dihadapi petani adalah rendahnya produksi kopra.  Produktivitas kelapa yang rendah disebabkan oleh rusaknya tanaman akibat  serangan hama Sexava.  Selain itu, permasalahan kedua bagi petani kelapa adalah rendahnya kualitas kopra yang dihasilkan petani. Hal tersebut lebih disebabkan oleh penanganan pasca panen yang belum optimal karena kurangnya keterampilan dan pengetahuan petani.
Permasalahan pada komoditas jagung dan padi gogo adalah produktivitas yang rendah. Permasalahan produktivitas ini disebabkan karena pengelolaan tanaman yang masih tradisional. Sumber benih turun temurun dimana petani belum banyak mengenal benih unggul dengan produktivitas lebih tinggi. Disamping itu, jarak tanam tidak teratur, tanaman tidak dipupuk/kurang pemupukan, penyiangan hanya 1 kali dan pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan juga menjadi penyebab rendahnya produktivitas. Dengan kata lain, petani belum sepenuhnya menguasai teknik budidaya.
Pada usaha ternak produktivitasnya juga rendah, karena ternak tidak dikandangkan dan pemberian pakan yang seadanya, serta adanya masalah dalam penanganan penyakit ternak.

(Non-Teknis)
Masalah non teknis yang dijumpai adalah lemahnya akses petani kepada lembaga permodalan serta pengadaan sarana input produksi (benih, pupuk dan pestisida). Kelompok tani yang sudah ada, kurang berfungsi dengan baik dan hanya mengkoordinasikan kegiatan budidaya budidaya (gotong royong). Kelompok tani merupakan salah satu lembaga sosial masyarakat di perdesaan, meski masih ada, namun umumnya cenderung  aktif  hanya  saat  adanya pelaksanaan suatu program pembangunan.
Tidak adanya lembaga pemasaran hasil menyebabkan petani sebagian besar menjual hasil pertanian kepada pedagang pengumpul dengan harga yang ditentukan oleh pembeli. Khusus untuk penjualan kopra, ketiadaan kelembagaan pemasaran hasil pertanian juga menyebabkan tidak ada perbedaan harga kopra berdasarkan mutu. Sedangkan pada tanaman jagung, ketiadaan lembaga pemasaran juga menyebabkan hasil produksi tidak terjual pada saat panen raya/over produksi. Hal ini sangat merugikan terutama pada jagung muda.
Tenaga penyuluh dan frekuensi penyuluhan masih sangat terbatas sehingga proses pemberdayaan petani melalui alih teknologi tidak berjalan dengan baik. Petani masih kurang dalam mengakses informasi teknologi.

Inovasi Teknologi yang Dibutuhkan
Inovasi teknologi dan kelembagaan yang disusun berdasarkan analisis hasil PRA yang  dituangkan dalam bentuk rancang bangun Lab. Agribisnis Prima Tani dengan melibatkan Pemandu Teknologi dari Balitka. Kemudian rancang bangun Lab Agribisnis tersebut disosialisasikan pada tingkat Pemerintah Daerah.
Keberhasilan upaya pengembangan komoditas untuk memanfaatkan potensi lahan kering tersebut di antaranya sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Pengembangan kelapa, jagung dan padi gogo akan berjalan baik jika petani merasa memperoleh pendapatan yang menguntungkan. Untuk itu diperlukan teknologi atau pendekatan budidaya dan pasca panen kelapa, jagung dan padi gogo yang mampu memberikan produktivitas tinggi persatuan luas lahan dan dengan proses produksi yang efisien.
Pada usahatani tanaman kelapa petani memerlukan inovasi teknik budidaya tanaman kelapa terutama masalah penanganan hama Sexava. Metoda yang dapat dicoba diterapkan oleh petani adalah dengan Pengendalian secara hayati melalui pemanfaatan parasiotid telur Leefmansia bicolor. Pasca panen kelapa berupa teknologi pengeringan kopra dengan alat pengering efisien, serta teknologi pengolahan minyak kelapa yang awet dan higienis serta teknologi pengolahan kelapa seperti Nata de coco untuk tambahan pendapatan keluarga.
Pada tanaman pangan yaitu jagung dan padi gogo untuk peningkatan produktivitas adalah perlu adanya introduksi dan pengenalan benih unggul yang diikuti dengan pendampingan. Benih padi/jagung sebaiknya yang mempunyai toleransi tinggi terhadap kekeringan dan kemasaman tanah. Bertalian dengan hal tersebut produksi jagung dan padi gogo dilakukan melalui pendekatan pengelolaan sumberdaya dan tanaman terpadu (PTT) pada lahan kering. Teknologi penanganan pasca panen jagung diintroduksikan untuk penangkaran benih terutama pemipilan, pengeringan dan sortasi. Disamping itu, perlu diintroduksikan teknologi pengolahan limbah jagung untuk pakan ternak sapi dan pupuk organik (kompos).
Introduksi teknologi sapi potong diarahkan pada manajemen pemeliharaan semi intensif, yaitu meliputi pengandangan, pemberian pakan penguat (konsentrat), penanganan kesehatan ternak khususnya mencret dan cacingan, serta pembuatan pupuk organik. Untuk mendukung ketersediaan pakan akan dilakukan melalui pemanfaatan limbah  jagung.
Untuk keberhasilan dalam implementasi kegiatan usahatani dalam rangka mendorong kemandirian petani meningkatkan pendapatannya selain diperlukan introduksi teknologi spesifik lokasi, juga diperlukan pendampingan teknologi yang intensif terhadap aktivitas kegiatan petani untuk memantau, mengevaluasi dan melaporkan perkembangan yang terjadi.

Inovasi Kelembagaan yang Dibutuhkan
Keberlanjutan usaha termasuk usaha peternakan sangat terkait dengan keadaan kelembagaan yang melingkupinya (Ella, 2002). Menurut Drajat dan Syukur (2006), inovasi teknologi bersifat necessary condition dan inovasi kelembagaan bersifat sufficient condition.  Inovasi kelembagaan mencakup semua elemen sistem agribisnis dan keterkaitannya serta kebijakan pendukung pengembangan. Inovasi kelembagaan dibutuhkan untuk menghantarkan inovasi teknologi dalam peningkatan produksi dan pendapatan petani secara maksimal dan berkelanjutan.
Hal ini memerlukan satu model pemberdayaan kelompok tani melalui rekayasa sosial, ekonomi, teknologi dan nilai tambah (Kasijadi, 2000). Keuntungan penerapan model ini secara ekonomi adalah biaya produksi dapat ditekan, terjadi efisiensi produksi, dan pendapatan anggota dapat meningkat. Sedangkan keuntungan sosial yang dapat diperoleh adalah pendidikan bagi masyarakat desa, kerjasama yang kuat antara anggota, dan menghidupkan kembali suasana pembangunan di perdesaan (Mamondon Bah et al., 1997).
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi di lokasi pengkajian, perlu rekayasa kelembagaan yang kehadirannya diharapkan dapat mengintegrasikan kelompok-kelompok petani/peternak, mengaktifkan fungsi kelompok tani sehingga mempermudah proses adopsi inovasi pertanian, meningkatkan akses terhadap informasi dan teknologi, lembaga permodalan, sarana input usahatani dan pemasaran hasil pertanian, serta meningkatkan aktifitas penyuluhan, baik dari segi tenaga maupun intensitasnya.
Kelembagaan yang harus ditumbuhkan adalah Gapoktan yang berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran hasil pertanian dan menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani serta kerjasama dalam rangka peningkatan posisi tawar petani. Gapoktan yang ditumbuhkan secara partisipatif diharapkan mampu menyentuh dan menggerakan pertanian melalui unit usaha produksi dan sarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan jasa penunjang serta unit pengelola keuangan.

Dukungan Sarana dan Prasarana yang Diperlukan
Untuk mengatasi masalah kurangnya informasi teknologi, harus dibentuk Klinik Agribisnis sebagai tempat konsultasi dan pelayanan teknologi pertanian meliputi informasi teknologi budidaya tanaman dan ternak, informasi teknologi pemupukan dan irigasi, informasi panen dan pasca panen, serta informasi pasar dan pemasaran. Pengelolanya terdiri dari kader petani, PPL, Dinas Pertanian, dan BPTP Maluku Utara.
Untuk mempercepat inovasi teknologi ke target sasaran yang lebih luas, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah diseminasi teknologi yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian media tercetak yang diiikuti dengan demplot. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005), pembuktian langsung di lapangan akan memberikan dampak lebih besar karena petani dapat melihat secara langsung. Dengan demikian informasi yang diperoleh masyarakat akan bertambah kemudian diharapkan masyarakat akan mencoba teknologi baru tersebut.

SIMPULAN
1.     Secara umum permasalahan yang dihadapi petani di lahan kering Desa Akediri adalah rendahnya produktivitas pertanian yang diusahakan baik tanaman perkebunan, tanaman pangan dan ternak yang mengakibatkan rendahnya pendapatan petani.
2.     Permasalahan yang dihadapi petani tidak saja menyangkut aspek teknis seperti budidaya dan pasca panen, akan tetapi juga menyangkut aspek non teknis meliputi kelembagaan sosial ekonomi pendukung kegiatan usahatani.
3.     Inovasi yang dibutuhkan pada aspek teknis meliputi teknologi budidaya melalui PTT, teknologi pengolahan pasca panen bagi komoditas tanaman pangan (jagung dan padi gogo) dan perkebunan (kelapa). Pada usaha ternak, inovasi yang dibutuhkan adalah teknologi pemeliharaan serta pembuatan pupuk organik.
4.     Aspek non teknis yang diperlukan untuk mendukung usahatani di lahan kering adalah penumbuhan Gapoktan.
5.     Dukungan sarana prasarana yang diperlukan adalah Klinik Agribisnis sebagai tempat konsultasi dan pelayanan teknologi pertanian. Diseminasi teknologi yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian media tercetak yang diiikuti dengan demplot.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004. Rancangan Dasar : Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005. Prospek dan Pengembangan Agribisnis Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007. Produksi Benih Sumber Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Halmahera Barat. 2005. Profil WKPP Jailolo. Halmahera Barat.
Drajat, Bambang dan Mat Syukur. 2006. Petunjuk Teknis Kelembagaan dalam Apresiasi Manajemen dan Konsep Prima Tani Untuk Manajer Laboratorium Agribisnis. Makalah. Balitbang Deptan. Jakarta.
Ella, A. 2002. Crop Livestock System di Sulawesi Selatan : Suatu Tinjauan Pelaksanaan Kegiatan. Wartazoa Vol. 12 No. 1. p. 18-23. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Jakarta.
Kasijadi, F. 2000. Cooperative Farming sebagai Model Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian Lahan Pertanian Lahan Sawah di Jawa Timur. Disampaikan pada Diskusi Panel BPTP Karangploso. Makalah No: 0011.1111. Tangal 27 Juli 2000.
Kecamatan Jailolo.2006. Potensi Desa di Kecamatan Jailolo 2006. Halmahera Barat.
Las, I., P. Hidayat dan A. Sasmita. 1997. Ketersediaan dan Potensi Sumber Daya Air dan Pertanian Pangan. Inovasi Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Hal. 120-136.
Las, I., I.N. Widiarta dan B. Suprihatno.2004. Perkembangan Varietas dalam Perpadian Nasional. Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal. 1-25.
Mamondon Bah, A.; T. Hiratsuka dan Fatoumata Bah, 1997. Management System of Guinea’s Cooperative Farming Organization and Its Economic and Social Marits. Journal of Rural Problem Conference. Paper No. 5.
Pabbage, S. M., Zubachtirodin, dan Sania Saenong. 2008. Kesiapan Teknologi dalam Peningkatan Produksi Jagung. dalam Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Mundy, P. 2000. Investasi untuk Komunikasi di Badan Litbang Pertanian. Makalah pada Spesialis Pelatihan dan Komnikasi Participating Development of Agriculture Technology Project. Desember, 2000.
Musyafak, A dan T. M. Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 3 No. 1. Hal. 20-37. PSE. Bogor.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. Dan Geofisik, Djakarta.
Sri Wahyuni. 2000. Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat Tani Mendukung Percepatan Adopsi dan Keberlanjutan Adopsi teknologi Usahatani Lahan Rawa. Makalah disampaikan pada Workshop Sistem Usahatani Pada lahan Pasang Surut-ISDP. Badan Litbang Pertanian, 26-29 Juni 2000. Cipanas-Bogor.
Suwarno, E. Lubis, A. Hairmansis, dan A. Nasution. 2008. Pembenukan Paket 20 Varietas Padi Gogo untuk Pengendalian Penyakit Blas dalam Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar