Senin, 04 Juni 2012

KAJIAN USAHA TERNAK SAPI BALI (Bos sondaicus) PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN HALMAHERA BARAT


KAJIAN USAHA TERNAK SAPI BALI  (Bos sondaicusPADA LAHAN KERING DI KABUPATEN HALMAHERA BARAT

Indra H. Hendaru, N. Saleh, dan M. Waraiya
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
email :handaruan@yahoo.com


ABSTRAK

Pengkajian pemeliharaan sapi potong semi intensif dilaksanakan di Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat pada tahun 2008. Pengkajian  ini  bertujuan  untuk  mengkaji keragaan pemeliharaan sapi potong semi intensif di lahan kering. Pengkajian  dilaksanakan  secara  on  farm  research  di  lahan petani dengan melibatkan sebanyak 8 peternak yang terdiri dari 3 peternak yang menerapkan teknologi introduksi dan 5 orang  yang  menerapkan  teknologi  yang  biasa  dilakukan  petani  (existing  technology).  Teknologi yang diintroduksikan dari budidaya ternak yaitu perbaikan manajemen berupa pemeliharaan ternak secara semi intensif (siang digembalakan dan malam dikandangkan), pemberian pakan penguat (dedak) sebanyak 1,5 kg/ekor/hari, pemberian mineral garam dan air minum tersedia penuh sepanjang hari (adlibitum). Kotoran sapi difermentasi dan diolah menjadi kompos.  Sapi  yang  dipelihara  dengan  teknologi introduksi memiliki pertambahan berat badan harian (PBBH) 0,221 kg/ekor/hari sedang sapi kontrol 0,126 kg/ekor/hari. Pendapatan  yang diperoleh  dari  usaha  pemeliharaan  sapi  Bali selama 90  hari  dengan  teknologi  introduksi  meningkat  dari  Rp.  281.125 menjadi  Rp. 1.765.625.  Nilai R/C yang dihasilkan meningkat dari 1,02 menjadi 1,10.
Kata kunci: Usaha ternak, sapi Bali, pemeliharaan semi intensif, lahan kering,

PENDAHULUAN
Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara dengan luas wilayah 223.466,7 ha, memiliki ekosistem lahan kering dataran rendah iklim basah. Daerah ini memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan ternak sapi potong karena dukungan sumberdaya lokal berupa pakan hijauan, limbah pertanian, ramban, dan lain-lain cukup tersedia. Populasi ternak sapi di Kabupaten Halmahera Barat pada tahun 2007 sebanyak 6.709 ekor dengan jumlah terbanyak sapi Bali, pemotongan 412 ekor dan produksi daging 84,575 ton (BPS Halbar, 2008).
Secara umum, di Kabupaten Halmahera Barat sapi Bali diusahakan sebagai ternak rakyat yang dikelola secara tradisional dengan modal, teknologi, dan SDM terbatas, serta diusahakan dalam skala kecil. Ditinjau dari faktor teknis, pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak relatif sederhana dengan tingkat penerapan teknologi tepat guna sangat rendah. Hal ini disebabkan karena  kebanyakan petani beternak secara sambilan dan umumnya ternak sapi digunakan sebagai ternak kerja untuk pengolahan lahan dan tabungan.
Pemeliharaan sapi di daerah ini biasanya dilakukan dengan cara tradisional/ekstensif. Sapi dilepas atau digembalakan pada pagi hingga sore hari dengan diikat-pindah pada kebun atau lahan-lahan kosong yang tidak ditanami tanaman semusim, sedangkan pada malam hari diikat di dekat rumah.  Pakan diberikan sepenuhnya berupa hijauan segar seperti rumput alam, walaupun sebagian kecil telah memanfaatkan limbah pertanian seperti jerami jagung (pada saat musim panen). Kesadaran petani relatif rendah terhadap pelayanan kesehatan ternaknya, semata-mata dilakukan bilamana ada kegiatan dari instansi terkait (BPTP Maluku Utara, 2007).
Pada sistem usaha tani di lahan kering, peran ternak dapat dimasukkan sebagai bagian integral sistem usaha tani untuk saling mengisi dan bersinergi yang memberi hasil dan nilai tambah optimal. Upaya peningkatan produktivitas sapi potong dan pendapatan petani di lahan kering dilakukan melalui perbaikan sistem usaha ternak sapi potong secara bertahap dengan berbagai masukan teknologi, diantaranya penggunaan kandang kelompok dan pemberian pakan penguat dari sumberdaya lokal (Yasa et al, 2006). Pengkajian ini bertujuan untuk mengkaji keragaan pemeliharaan sapi potong semi intensif di lahan kering.

METODOLOGI
Kajian dilaksanakan di Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, dari Mei sampai Agustus 2008. Desa Akediri adalah lokasi pelaksanaan Primatani dengan salah satu komoditas andalan yang dikembangkan adalah ternak sapi potong. Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah bakalan sapi Bali dan bahan lainnya yaitu dedak, pupuk Urea, Probion, dan Pita Ukur.
Kegiatan pengkajian dilaksanakan di lahan petani (on farm research).  Pendekatan dilakukan dengan cara kerjasama dengan peternak (peternak menyediakan ternak dan  tenaga kerja).  Peneliti, penyuluh dan teknisi dari BPTP Maluku Utara berperan sebagai motivator dan pemandu teknologi. Peternak yang terlibat sebanyak 8 orang terdiri dari 3 orang anggota Gapoktan Bhineka Prima dengan introduksi teknologi dan 5 orang peternak kontrol. Jumlah ternak sapi yang diamati untuk masing-masing kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor sapi Bali yang berumur sekitar 1-1,5 tahun dengan rataan berat badan awal 179,6 kg (perlakuan) dan 176,1 kg (kontrol).
Teknologi budidaya ternak yang diintroduksikan yaitu pemeliharaan ternak secara semi intensif (siang digembalakan dan malam dikandangkan), pemberian pakan penguat (dedak) sebanyak 1,5 kg/ekor/hari dicampur garam, diberikan pada pagi hari sebelum pemberian pakan hijauan (Guntoro, 2002). Dedak yang diberikan pada ternak, terlebih dahulu diadaptasikan selama 3 minggu yaitu pada minggu pertama diberikan 0,5 kg/ekor/hari, minggu kedua 1 kg/ekor/hari dan minggu ketiga 1,5 kg/ekor/hari. Pemberian air minum tersedia penuh sepanjang hari (adlibitum). Kotoran sapi yang dihasilkan difermentasi menggunakan probiotik (Probion) selama 3 minggu sehingga dihasilkan  kompos.  Bahan yang diperlukan dalam pembuatan kompos yaitu : kotoran sapi 800 kg, Probion 2,5 kg, urea 2,5 kg, serbuk gergaji 50 kg, jerami/rumput 100, dedak 50 kg dan air (Murtiyeni dkk, 2006). 
Teknologi  petani  (sebagai  kontrol)  adalah  pemberian  hijauan  makanan  ternak  (HMT) dari  alam, tanpa pengandangan, tanpa  suplemen  dan  tanpa  pengendalian kesehatan ternak. 
Pengumpulan data usahatani dari petani kooperator dan non kooperator dilakukan dengan metode farm record keeping. Data yang dikumpulkan meliputi data bobot badan sapi awal dan akhir pengkajian serta produksi kompos. Data pertambahan bobot badan harian ternak diperoleh dari hasil perhitungan selisih BB akhir – BB awal dibagi dengan jumlah hari pengamatan (90 hari). Data yang diamati kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
Untuk pengukuran bobot badan sapi Bali jantan digunakan rumus :
Bobot Badan (Kg) =  Panjang Badan (cm) x (Lingkar Dada (cm))2
                                                                                                                         11045
Sumber : Guntoro, 2002.
Data pendukung lain yang dikumpulkan adalah karakteristik wilayah, karakteristik peternak (umur, tingkat pendidikan, pemilikan ternak dan pengalaman beternak) dan usaha ternak, nilai output  dan  input  teknologi,  penggunaan  sarana produksi,  dan penggunaan tenaga  kerja. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan menggunakan blanko kuesioner, kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
Untuk melihat manfaat ekonomi sistem usaha peternakan, maka dilakukan analisis ekonomi usahatani, yaitu analisis B/C Ratio. Sedangkan untuk melihat teknologi introduksi yang direkomendasikan dapat diterima atau tidak, maka dilakukan perhitungan MBCR (Marginal Benefit Cost Ratio).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi Pengkajian
Menurut Nasrullah, dkk (2007), secara geografis lokasi pengkajian terletak antara 1o6’36’’(BT) dan 1o8’45’’(LU). Keadaan iklim tergolong cukup basah dan musim kemarau kurang begitu nyata. Curah hujan tahunan sebesar 2.601 mm, dengan 2 puncak musim hujan (Mei dan Desember), sehingga cukup menguntungkan untuk usaha pertanian. Zone agroklimatnya termasuk B1 (Oldeman et all, 1977).  Analisis data iklim periode 1993-2002 menunjukkan suhu rerata tahunan berkisar 26,6oC, kecepatan angin 1,8 m/detik, kelembaban udara relatif 83,6% sepanjang tahun dan lama penyinaran matahari bulanan 62,9 jam. Curah hujan yang merata sepanjang tahun memberikan jaminan ketersediaan pakan hijauan makanan ternak yang tersedia cukup dan teratur sepanjang tahun.






Gambar 1. Distribusi curah hujan bulanan di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat
Berdasarkan informasi ini maka wilayah kajian masih berada pada kisaran temperatur yang nyaman bagi sapi-sapi dari Bos indicus yang bisa hidup nyaman pada suhu udara antara 21,250 C – 34,80 C (Payne et all, 1997).

Karakteristik Peternak
Identitas utama yang dikemukakan dalam uraian berikut dibatasi pada keragaan umur, tingkat pendidikan, pengalaman beternak dan rata-rata pemilikan ternak (Tabel 1).
Tabel 1. Karakterisitik Peternak dalam Usaha Ternak Sapi Potong
No
Uraian
Rata-rata


1
Umur (th)
45,6

2
Tingkat Pendidikan (thn)
10,8

3
Pemilikan Ternak (ekor)
1-2

4
Pengalaman Beternak (thn)
15

Sumber : Data primer, 2008
Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa rata-rata umur peternak adalah 45,6 tahun. Pada tingkat umur tersebut merupakan masa di mana peternak masih sangat produktif sehingga diharapkan usaha ternak yang dilakukan dapat mencapai titik optimal. Menurut aturan yang berlaku, jika seseorang memiliki umur pada kisaran 15 – 55 tahun digolongkan sebagai orang produktif. Tingkat pendidikan rata-rata peternak adalah 10,8 tahun. Ini menunjukkan bahwa rata-rata peternak telah dapat menyelesaikan pendidikan dasar dan sebagian besar telah mendapatkan pendidikan lanjutan pertama bahkan lanjutan atas. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada kemampuan dalam menerima, memahami, dan mengadopsi teknologi .
Rata-rata ternak sapi yang dimiliki oleh peternak adalah 1- 2 ekor. Jumlah tersebut masih dapat menunjang kebutuhan keluarga untuk keperluan tabungan, menyekolahkan anak serta aktivitas sosial lain seperti kurban, pernikahan dan sebagainya. Berdasarkan hasil baseline survei tahun 2008, kontribusi usaha ternak terhadap pendapatan petani adalah sebesar 11,3% (BPTP Maluku Utara, 2008). Faktor lain yang cukup memberi pengaruh terhadap keberhasilan usaha ternak sapi potong yaitu pengalaman usaha ternak. Rata-rata pengalaman usaha ternak adalah 15 tahun. Pengalaman tersebut dapat mempermudah dalam proses adopsi teknologi walaupun secara nyata petani tetap harus didampingi dan dikawal oleh penyuluh/peneliti.

Karakteristik Usaha Ternak
Di Desa Akediri, ternak sapi yang dipelihara adalah sapi Bali tersebar di seluruh wilayah desa, yang dipelihara oleh petani sebagai usaha sampingan atau bersifat sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat diuangkan saat dibutuhkan. Ternak sapi juga dipelihara sebagai tenaga kerja dalam usaha tani yaitu untuk pengolahan tanah dan alat angkut hasil pertanian. Pemeliharaan sapi di daerah ini biasanya dilakukan dengan pola penggemukan secara tradisional/ekstensif. Ternak sapi diikat-pindah pada kebun atau lahan-lahan kosong yang tidak ditanami tanaman semusim. Dalam penjualan ternak hidup dengan melihat eksterior ternak per ekor tergantung besar badannya (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Maluku Utara, 2006).

Kinerja Teknologi Usahatani 
Produktivitas Ternak 
Jumlah ternak yang rutin masuk dalam kandang kelompok awalnya adalah 5 ekor sapi Bali jantan. Pada manajemen pemeliharaan, sapi tidak dikandangkan secara terus menerus, pada siang hari dilepaskan di luar kandang (tegalan) untuk mencari rumput sendiri. Monitoring manajemen pengelolaan ternak terutama seperti memberi makan, membersihkan kandang dan mengambil kotoran sampai saat ini masih belum menemui masalah karena para pemilik sapi masih ada hubungan kekeluargaan. Mereka memberi makan ternak secara bergantian tanpa membedakan masing-masing kepemilikan sapi.
Keragaan produksi ternak sapi ditampilkan pada Tabel 2, menunjukkan bahwa PBBH sapi perlakuan/kooperator yang diberi pakan tambahan berupa dedak dihasilkan sebesar 0,221 kg/ekor/hari sedang sapi kontrol 0,126 kg/ekor/hari,  atau dengan kata lain sapi perlakuan lebih tinggi sekitar 176,8% dari pemeliharaan petani (kontrol). Hal ini menunjukan bahwa penambahan konsentrat berupa dedak sebesar 1,5 kg/hari memberikan pengaruh terhadap PBBH sapi Bali.
Hal ini sejalan dengan Handiwirawan dan Subandriyo (2004) yang menyatakan bahwa rataan laju PBBH sapi Bali yang diberi rumput lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah 175,75 g/ekor/hari, namun PBB harian meningkat jika diberi pakan tambahan konsentrat 1,8% hingga mencapai 313,88 g/ekor/hari.
Tabel 2.  Keragaan Ternak Sapi Bali yang Diamati Di Desa Akediri, Kec. Jailolo,   Kab. Halmahera Barat.
No
Uraian
Teknologi Introduksi
Teknologi Petani


1
PBBH (kg/ekor/hari)
0.221
0.126

2
Konsumsi Dedak (kg/ekor/hari)
1.5
0

3
Produksi Kompos
1.200
0

Sumber :  Data primer diolah
PBBH yang dihasilkan pada pengkajian ini tidak terlalu besar yaitu 0,221/ekor/hari. Hal ini disebabkan karena sapi yang digunakan adalah sapi Bali (lokal) yang pertambahan bobot badan hariannya relatif rendah. Salfina dkk (2001) menyatakan bahwa sapi-sapi  lokal  (Madura, Ongole, Bali dan Grati) kurang ekonomis, karena sapi-sapi  lokal  kurang  responsif  terhadap  pakan bermutu  tinggi, walaupun Sapi Bali adalah jenis sapi lokal yang sudah adaptif pada berbagai tipe lahan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan Abduh dan Paat (1993), yang melaporkan bahwa pemberian dedak  padi pada sapi Bali yang dilepas bebas merumput belum mampu memberikan  pertambahan bobot badan yang optimal.

Produksi Kompos
Jumlah kotoran sapi yang dihasilkan per ekor per hari rata-rata 5 kg berat basah, sehingga selama pemeliharaan, 5 ekor sapi dalam kandang mampu menghasilkan kotoran sekitar 2.250 kg berat basah. Kotoran tersebut kemudian difermentasi selama 3 minggu dan dihasilkan sekitar 1200 kg kompos atau terjadi penyusutan sekitar 50%. Potensi penyediaan kompos dari 5 ekor sapi cukup besar. Bila dari 6701 ekor sapi dipelihara secara semi intensif, akan dihasilkan sekitar 16,75 ton kompos selam 3 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pengembangan kompos di Kabupaten Halmahera Barat cukup besar.

Analisa Usahatani
Hasil Analisis Finansial Usaha Ternak Sapi
Tabel 3 menunjukkan hasil analisis biaya dan pendapatan usahatani ternak sapi dengan asumsi bahwa harga daging hidup Rp.17.500/kg, penyusutan kandang Rp.66.666,67/3 bulan, penyusutan peralatan 15.750/3 bulan, upah tenaga kerja 1 HOK (Hari Orang Kerja) Rp.25.000, harga dedak Rp.500/kg, harga kompos yang dihasilkan dalam keadaan kering Rp.2.000/kg.
Hasil analisis diketahui bahwa nilai R/C yang diperoleh dari teknologi yang diintroduksikan per petani kooperator sebesar 1,10 sedangkan kontrol 1,02. Pada pengkajian ini nilai R/C yang dihasilkan dari teknologi introduksi tidak terlalu tinggi karena adanya penambahan biaya tetap terutama untuk pembelian pakan (dedak) dan alokasi tenaga kerja. Selama pengkajian digunakan dedak untuk pakan sebanyak 700 kg dengan nilai Rp. 350.000, atau 54,01% dari biaya tetap yang harus dikeluarkan selama pengkajian. Sedangkan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pemeliharaan dengan teknologi yang diintroduksikan lebih banyak yaitu 1 orang menggunakan alokasi waktu sekitar 0,75 jam/hari atau 0,125 HOK untuk mencari rumput, pemberian pakan, pembersihan kandang, pengumpulan kotoran dan ikat pindah sapi serta 2 jam setiap minggu untuk pembuatan kompos. Sedang pemeliharaan kontrol hanya memerlukan waktu 0,5 jam/hari atau 0,125 HOK untuk ikat pindah sapi.
Meskipun nilai R/C pada pengkajian ini tidak terlalu tinggi, namun bila dilihat dari pendapatan usahatani sapi dengan  menggunakan  teknologi  introduksi memberikan  keuntungan  lebih  tinggi  daripada teknologi  petani  (Tabel  3).  Pendapatan  yang diperoleh  dari  usaha  pemeliharaan  sapi  selama 90  hari  dengan  teknologi  introduksi  pada  sapi Bali  meningkat  dari  Rp. 281.125 menjadi  Rp. 1.765.625. Nilai R/C yang dihasilkan meningkat dari 1,02 menjadi 1,10. Sedangkan dari analisis imbangan biaya diperoleh nilai MBCR 1,75. Ini berarti bahwa penggemukan dengan teknologi introduksi layak untuk dikembangkan.
Agar peningkatan nilai tambah pengandangan ternak lebih meningkat, maka upaya memanfaatkan kotoran untuk biogas layak diusahakan dan diterapkan oleh petani. Menurut Widodo dkk (2007), pemanfaatan kotoran ternak untuk biogas pada pemeliharaan 10 ekor sapi memberikan nilai B/C 1,35 dengan memberikan pendapatan dari instalasi biogas Rp. 600.000/bulan. Biogas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai sumber energi kompor gas dan lampu penerangan.


Tabel. 3. Analisis Usahatani Pemeliharaan Sapi Bali Di Desa Akediri, Kec. Jailolo, Kab. Halmahera Barat.

SIMPULAN
Dari hasil kajian dapat disimpulkan :
1.       Introduksi  teknologi pemeliharaan  sapi Bali dengan pemeliharaan semi intensif dapat meningkatkan bobot sapi Bali dari 0,126 kg/ekor/hari menjadi 0,221 kg/ekor/hari yang sekaligus memberi nilai tambah dengan memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai pupuk organik.
2.       Usaha penggemukan sapi Bali dengan pemeliharaan semi intensif bersama dengan pemanfaatan limbah, cukup menguntungkan dengan memberikan kontribusi pendapatan bersih sebesar Rp. 1.765.625,- dengan R/C sebesar 1,10 sehingga cukup layak untuk dilanjutkan.
3.       Agar peningkatan nilai tambah pengandangan ternak lebih meningkat, maka upaya memanfaatkan kotoran untuk biogas layak diusahakan dan diterapkan oleh petani.


DAFTAR PUSTAKA

Abduh, U. dan P. C. Paat.  1993.  Pemanfaatan Dedak Padi  untuk  Peningkatan  Produktivitas  Sapi Bali  Jantan  yang  Digembalakan  Pada  Pastura Alam.  Prosiding  Pertemuan  Pengolahan  Komunikasi  Hasil  Penelitian  Peternakan  di Sulawesi  Selatan.  Sub  Balai  Penelitian Ternak Gowa : 94-98.

BPTP Maluku Utara, 2007. Laporan PRA Prima Tani Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. BPTP Maluku Utara, Ternate.

BPTP Maluku Utara, 2008. Laporan Baseline Survei Prima Tani Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. BPTP Maluku Utara, Ternate.

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Maluku Utara, 2006. Buku Statistik Peternakan. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Maluku Utara. Ternate.

Guntoro, S. Membudidayakan Sapi Bali. 2002. Kanisius. Yogyakarta.

Eko Handiwirawan dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Proc. Wartazoa Vol 14 No 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Jakarta.

Murtiyeni, B. Wibowo, I W. Mathius. A. Suparyanto, B. Kushartono Dan Fery Munir. 2006. Membuat Kompos Dari Limbah Kakao dan Ternak. Kerjasama Balitnak dengan Poor Farmer Project-Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Nasrullah, E. Margomulyo dan E. Sosiawan, 2007. Identifikasi Dan Evaluasi Potensi Lahan Untuk  Mendukung Prima Tani Di Desa Akediri, Kec. Jailolo, Kabupaten  Halmahera Barat, Maluku Utara. Laporan Sementara. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.

Oldeman, L.R, and Darmiyati S., 1977. The Agroclimatic Map of Maluku, scale 1: 2,500,000.Contr. Centre. Res. Inst. Agric. Bulletin No.60, Bogor.

Payne, W.J.A. And J. Hodges. 1997. Tropical Cattle: Origin, Breeds and Breeding Policies. Blackwell Science.

Salfina,  D.D.  Siswansyah,  M.  Sabran  dan  Sunardi. 2001.   Pengkajian Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Perbaikan Manajemen Pakan dan  Kesehatan  Ternak di Lahan Kering dan Pasang Surut Kalimantan Tengah. Laporan Akhir.   Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Teguh Wikan Widodo, Ana N., A.Asari dan Astu Unadi. 2007. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung Agribisnis Di Pedesaan. Balai Besar Mekanisasi Pertanian. Serpong

Yasa, I.M.R. I.N. Adijaya, I.K. Mahaputra, I.A. Parwati. 2006. Pertumbuhan Sapi Bali yang Diggemukan di Lahan Kering Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak  Buleleng. Makalah Seminar Nasional. BPTP NTB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar