KERAGAAN INOVASI
PERTANIAN ALAMIAH PRA PELAKSANAAN PROGRAM PRIMA TANI DI KABUPTEN HALMAHERA
BARAT
Indra Heru H, Nofyarjasri Saleh, dan M.
Seni S. Kulle
Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
email : handaruan@yahoo.com
ABSTRAK
Prima Tani
merupakan suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi dan kelembagaan
yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi
baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian yang didasarkan pada partisipasi
masyarakat. Langkah awal dalam pelaksanaan
Prima Tani adalah dilakukannya Participatory Rural Appraisal (PRA)/Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif untuk mengidentifikasi masalah
petani dan memberikan solusi masalah tersebut melalui inovasi pertanian.
Kegiatan dilaksanakan di Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera
Barat pada Desember 2006. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa secara umum permasalahan yang dihadapi petani di lahan
kering Desa Akediri adalah rendahnya produktivitas pertanian yang diusahakan baik
tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan ternak yang mengakibatkan rendahnya
pendapatan petani. Inovasi pertanian yang dibutuhkan adalah melalui PTT, akan tetapi juga teknologi pasca panen
komoditas tanaman pangan (jagung dan padi gogo) dan perkebunan (kelapa), serta
teknologi pengandangan, penyediaan dan pemberian pakan, serta penanganan kesehatan pada usaha ternak.
Aspek non teknis yang diperlukan untuk mendukung
usahatani di lahan kering adalah penumbuhan Gapoktan dengan dukungan sarana prasarana yang
diperlukan yaitu Klinik Agribisnis sebagai tempat konsultasi dan pelayanan
serta
diseminasi teknologi yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian media tercetak yang diiikuti dengan demplot.
Kata kunci : Prima tani, Inovasi pertanian, PRA.
PENDAHULUAN
Pertanian dan perdesaan merupakan
satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Pertanian merupakan komponen utama penopang
kehidupan pedesaan. Sebagian besar rumah tangga perdesaan beraktivitas di
pertanian walaupun banyak di antara rumahtangga tersebut sumber pendapatan
utamanya berasal dari aktivitas non-pertanian. Dalam hal ini tidak hanya
sebatas pertanian dalam arti sempit, namun dalam arti luas termasuk di dalamnya
adalah pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan,
perikanan, dan kehutanan.
Upaya percepatan pembangunan pertanian tidak
terlepas dari dukungan ketersediaan inovasi pertanian di tingkat pengguna
potensial. Dukungan tersebut tidak hanya
pada segmen penyediaan inovasi pertanian (generating
subsystem), tetapi juga pada penyampaian inovasi (delivery subsystem),
serta partisipasi aktif penerimaan inovasi (receiving
subsystem).
Walaupun selama ini telah banyak teknologi
yang dihasilkan oleh lembaga penelitian publik, tetapi terjadi kelambanan dalam penerapan inovasi teknologi yang dihasilkan oleh
masyarakat pertanian secara luas (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004). Perlambatan tingkat adopsi
teknologi yang dihasilkan oleh institusi penelitian/pengkajian dapat disebabkan
antara lain oleh kurang/tidak efektifitas diseminasi dan proses alih teknologi
dari lembaga penelitian/pengkajian kepada pengguna antara (penyuluhan dan stakeholders)
dan kepada petani serta pelaku agribisnis lainnya kurang efektif (Sulaiman,
2002).
Teknologi yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian memerlukan waktu relatif lama ntuk sampai kepada pengguna. Menurut
hasil penelitian yang disitir oleh Mundy (2000), diperlukan waktu sekitar 2
tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan dari Badan Litbang Pertanian
diketahui oleh 50% Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), dan 6 tahun sebelum 80%
PPS mendengar teknologi tersebut. Waktu yang diperlukan akan lebih lama lagi
untk sampai ke tangan petani.
Salah satu contoh dari lambatnya tingkat
adopsi teknologi Badan Litbang oleh petani adalah penggunaan varietas unggul
baru (VUB) padi sawah. Dari 54 VUB yang dilepas Badan Litbang Pertanian melalui
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi antara tahun 1995-2003, hanya 5-10 varietas
saja yang dominan ditanam petani dengan luasan lebih dari 200.000 ha/varietas
(Las et al, 2004). Pertanaman paling
luas adalah IR64 yang justru dilepas tahun 1986. Hal tersebut menunjukkan
kurangnya sosialisasi dari varietas ungul tersebut (Badan Litbang Pertanian,
2007).
Dalam rangka penderasan adopsi
inovasi pertanian yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian kepada
masyarakat luas salah satunya adalah program Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian
atau Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2004). Prima Tani merupakan suatu model atau konsep baru
diseminasi teknologi dan kelembagaan yang dipandang dapat mempercepat
penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan
Litbang Pertanian yang didasarkan pada partisipasi masyarakat.
Secara spesifik kegiatan ini memiliki tujuan: (a) Memahami
secara mendalam masalah yang dihadapi masyarakat desa dalam pengembangan
agribisnis: (b) Mengidentifikasi upaya antisipasi yang efektif dan efisien
melalui kegiatan inovasi teknologi yang dimiliki Badan Litbang Pertanian.
METODOLOGI
Langkah awal dalam pelaksanaan Prima
Tani adalah dilakukannya Participatory Rural Appraisal (PRA)/Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif. Pelaksanaan PRA ditujukan untuk mengumpulkan dan menganalisis berbagai
informasi yang dibutuhkan dalam rangka perancangan jenis-jenis inovasi yang
akan dikembangkan berdasarkan masalah dan potensi agroekosistem yang ada. Menurut Sri
Wahyuni (2000), metode PRA merupakan salah satu cara yang tepat untuk
mengidentifikasi masalah petani dan memberikan solusi masalah tersebut melalui
inovasi pertanian.
Kegiatan ini dilaksanakan pada
Desember 2006 di Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat
sebagai salah satu yang daerah dijadikan lokasi Prima Tani di
Provinsi Maluku Utara
dimana BPTP Maluku Utara bertindak sebagai pelaksana lapang. Pengambilan data PRA meliputi: (a) wawancara mendalami/Indepth
Interview; (b) pengamatan/Observasi;
(c) pengamatan pelibatan/Participation Observasi, (d) Focus Group Discussion.
Informasi yang harus dikumpulkan meliputi :
(1)
Jenis tanaman dan
ternak yang diusahakan petani beserta peranannya terhadap pendapatan
rumahtangga, potensi pasar, pemanfaatan limbah yang dihasilkan, dan kesesuaian
agroklimat.
(2)
Potensi sumberdaya
lahan, air, manusia, dan infrastruktur menurut blok hamparan lahan.
(3)
Kinerja teknologi
dan kinerja hasil kegiatan agribisnis di bidang usahatani/produksi, input
usahatani, pasca panen, pengolahan dan pemasaran.
(4)
Kinerja kelembagaan
agribisnis dalam rangka mengkaji peluang inovasi kelembagaan. Kelembagaan
agribisnis meliputi seluruh elemen lembaga agribisnis mulai dari pengadaan
sarana input usahatani, hingga pemasaran hasil, dan lembaga pendukung
agribisnis.
(5)
Masalah teknis dan
kelembagaan agribisnis yang dihadapi oleh praktisi agribisnis.
Unit analisis dalam kegiatan PRA
adalah rumah tangga. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan metode analisis
kualitatif melalui proses kodefikasi, kategorisasi, interpretasi, pemaknaan,
dan abstraksi. Data dan informasi kuantitatif dianalisis menggunakan metode
analisis deskriptif.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Karakteristik
Lokasi
Sumberdaya iklim dan air merupakan faktor dominan dalam
menentukan tingkat kesesuaian lahan, produktivitas, mutu hasil pertanian dan pemilihan teknologi yang sesuai dengan
karakteristik setiap wilayah (Las et al, 1997).
Menurut klasifikasi Oldeman
(1977), Kabupaten Halmahera Barat Maluku Utara tergolong ke dalam
zona agroklimat B-1, yaitu tanpa memiliki bulan kering dengan 8 bulan basah dengan puncak
periode basah pada Juni (313 mm) dan puncak periode kering pada September (147
mm). Sedangkan menurut Schmidt & Fergusson (1951), termasuk tipe hujan A karena mengalami bulan basah
sepanjang tahun.
Tanah di lokasi pengkajian
termasuk ordo inceptisols dan mollisols dengan karakteristik
tekstur lempung liat berdebu sampai lempung liat berpasir, konsistensi
agak lekat dan tidak plastis (basah), gembur (lembab) dan drainase baik sampai
cepat. Status kesuburan tanah tergolong rendah sampai
sedang dengan kandungan bahan organik umumnya rendah.
Potensi Sumber Daya Pertanian
Desa Akediri selain terdiri
dari lahan kering berupa kebun campuran
(kelapa, cengkeh, pisang, dll) seluas
167,63 ha ( 23,70 %), ladang (jagung, padi gogo, ubi kayu dll) seluas 193,78 ha
( 27,44 %), dan kebun kelapa seluas
336,03 ha (47,59%) (Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Halmahera Barat, 2005). Seluruh lahan yang ada di Desa
Akediri adalah tanah milik petani sendiri, namun dalam pengelolaannya sebagian
besar digarap sendiri dan hanya sebagian kecil saja yang merupakan sewa.
Tingkat kepemilikan lahan 0,5-1 ha/rumah tangga petani.
Sebelum tahun 1921 pertanian
yang diusahakan penduduk asli adalah padi gogo dengan sistem ladang berpindah.
Semenjak kedatangan sekelompok orang Jawa tahun 1921, mulai diperkenalkan cara
bercocok tanam jagung, padi gogo, kelapa, coklat,
cengkeh dan sayuran. Hal tersebut ditiru dan dikembangkan masyarakat asli
hingga sekarang. Komoditas
yang paling menonjol diusahakan sampai sekarang adalah kelapa, jagung, dan padi
gogo. Disamping memiliki kebun dan tegalan, petani juga memelihara
ternak antara lain sapi, kambing dan ayam buras.
Pola
Tanam dan Cabang Usahatani yang Diusahakan
Pola tanam mengikuti adanya pola curah
hujan, karena tanaman yang satu akan
berbeda kebutuhan airnya dengan tanaman lainnya. Tanaman pangan yang paling banyak diusahakan
adalah jagung dan padi gogo. Jagung ditanam
sepanjang tahun (Januari-Desember), sementara padi gogo pada bulan
November. Sebagian besar petani menerapkan
pola tanam padi-jagung-jagung dan sebagian yang lain menerapkan pola tanam
jagung-jagung-jagung dan padi-jagung-bera. Selain jagung dan padi gogo,
penduduk juga mengusahakan ubi kayu, kacang tanah serta sayuran.Tanaman
perkebunan yang paling banyak diusahakan adalah kelapa, baik diusahakan secara
monokultur maupun dicampur dengan cengkeh, pisang dan pala.
Jenis ternak yang dipelihara antara lain sapi, kambing dan ayam buras.
Ternak yang dominan adalah sapi bali dengan kepemilikan 1 – 2 ekor
per rumah tangga. Sapi digunakan sebagai ternak kerja untuk
pengolahan lahan dan tabungan. Sedangkan kambing kacang tingkat
kepemilikannya antara 4 – 5 ekor per rumah tangga.
Penerapan Teknologi di Tingkat Petani
Tanaman terbanyak yang masih
dipelihara adalah kelapa. Petani hanya melakukan
panen tanpa melakukan penanaman, pemupukan dan perawatan, sehingga masih sering terjadi
serangan hama terutama Sexava. Hasil panen
diolah menjadi kopra. Tingkat produksi kopra mencapai 400-500 kg/ha/panen,
sehingga dalam 1 tahun (3 kali panen), produksinya rata-rata berkisar antara
1400-1500 kg/ha, masih rendah dari produkrivitas kopra nasional yang mencapai
2400-3000 kg/ha (Badan Litbang pertanian, 2005).
Dari beberapa komoditas yang
ada, petani cenderung mempertahankan dan mengembangkan komoditas jagung sebagai
komoditas utama. Hal ini bisa dilihat dari hampir seluruh lahan yang ada di
desa Akediri ditanami jagung. Luas areal tanam jagung di Desa akediri tercatat
98 ha (Kecamatan Jailolo, 2006). Petani masih menanam jagung walaupun terkendala dalam hal
pemasaran, dimana jumlah pembeli yang sedikit dengan dengan harga rendah,
serangan hama, serta pupuk yang langka dan mahal.
Varietas
jagung yang digunakan umumnya adalah Bisi 2, namun ada juga yang menanam Lamuru
dan Metro (yang oleh penduduk setempat disebut varietas lokal). Pengolahan tanah dengan 3 kali bajak dan umumnya sudah menggunakan traktor, walaupun masih
ada yang menggunakan ternak sapi. Jarak tanam tidak beraturan dan tergantung
pada ketersediaan benih. Penyiangan tanaman dilakukan
satu atau dua kali tergantung pada kepadatan populasi gulma. Pemupukan dilakukan selama 2 kali, umumnya hanya
menggunakan urea dengan
takaran yang terdiri dari 100 kg/ha. Hanya sebagian kecil saja
yang melengkapinya dengan SP 36 dan KCl dengan
takaran masing-masing 50 kg/ha. Bahkan masih ada beberapa petani yang sama
sekali tidak menggunakan pupuk pada usahatani jagungnya.
Sistem
panen yang digunakan ada 2 macam yaitu jagung muda (75 hari) dengan
produksi rata-rata 2,7 ton/ha dan jagung
kering (90-100 hari) dengan tingkat produksi rata-rata 1,8 ton/ha, lebih rendah
dibanding produktivitas nasional yang mencapai 3,45 ton biji kering/ha (Pabbage
et al, 2008). Sistem panen yang
digunakan tergantung pada permintaan pasar dan harga. Jika jagung muda lebih diminati pasar dan
harga lebih tinggi, maka petani akan memanen jagung pada usia muda, demikian juga
sebaliknya.
Selain jagung, tanaman lain
yang banyak diusahakan adalah padi gogo. Walaupun pengelolaan padi ladang dirasakan lebih sulit, mahal, dan kurang
menguntungkan, namun tetap diusahakan untuk keperluan konsumsi keluarga. Tingkat produktivitas
padi gogo di Desa Akediri hanya mencapai 2 ton/ha, lebih rendah dibanding
produktivitas nasional yang mencapai 2,58 ton/ha (Suwarno et al, 2008). Benih yang digunakan adalah varietas lokal Kayeli dan
Pulo. Pembajakan dilakukan 6 kali dengan menggunakan traktor atau ternak
sapi. Pemupukan hanya menggunakan urea
dengan takaran 50 kg/ha. Panen dilakukan saat umur padi mencapai 6 bulan dalam 1 tahun hanya 1 kali panen.
Ternak sapi Bali digunakan sebagai ternak kerja untuk pengolahan lahan dan
tabungan. Ternak sapi tetap dipelihara walaupun masih secara tradisional dengan pola
ikat pindah di bawah pohon kelapa. Ditinjau dari faktor teknis,
pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak relatif sederhana dengan tingkat
penerapan teknologi tepat guna sangat rendah.
Permasalahan Usahatani
(Teknis)
Pada komoditas kelapa
masalah yang dihadapi petani adalah rendahnya
produksi kopra. Produktivitas kelapa
yang rendah disebabkan oleh rusaknya tanaman akibat serangan hama Sexava. Selain itu, permasalahan kedua bagi petani
kelapa adalah rendahnya kualitas kopra yang dihasilkan petani. Hal tersebut
lebih disebabkan oleh penanganan pasca panen yang belum optimal karena kurangnya keterampilan dan pengetahuan petani.
Permasalahan pada komoditas
jagung dan
padi gogo adalah produktivitas yang rendah. Permasalahan produktivitas ini disebabkan karena pengelolaan tanaman yang masih tradisional. Sumber benih
turun temurun dimana petani belum banyak mengenal benih unggul dengan
produktivitas lebih tinggi. Disamping itu, jarak tanam tidak teratur, tanaman
tidak dipupuk/kurang pemupukan, penyiangan hanya 1 kali dan pengendalian hama
dan penyakit tidak dilakukan juga menjadi penyebab rendahnya produktivitas.
Dengan kata lain, petani belum sepenuhnya menguasai teknik budidaya.
Pada usaha ternak
produktivitasnya juga rendah, karena ternak tidak dikandangkan dan pemberian
pakan yang seadanya, serta adanya masalah dalam penanganan penyakit ternak.
(Non-Teknis)
Masalah non teknis yang
dijumpai adalah lemahnya akses petani kepada lembaga
permodalan serta pengadaan sarana input produksi (benih, pupuk dan pestisida). Kelompok tani yang sudah ada,
kurang berfungsi dengan baik dan hanya mengkoordinasikan kegiatan budidaya
budidaya (gotong royong). Kelompok tani merupakan salah satu lembaga sosial masyarakat di
perdesaan, meski masih ada, namun umumnya cenderung aktif
hanya saat adanya pelaksanaan suatu program pembangunan.
Tidak
adanya lembaga pemasaran hasil menyebabkan petani sebagian besar menjual hasil
pertanian kepada pedagang pengumpul dengan harga yang ditentukan oleh pembeli.
Khusus untuk penjualan kopra, ketiadaan kelembagaan pemasaran hasil pertanian
juga menyebabkan tidak ada perbedaan harga kopra berdasarkan mutu. Sedangkan
pada tanaman jagung, ketiadaan lembaga pemasaran juga menyebabkan hasil
produksi tidak terjual pada saat panen raya/over produksi. Hal ini sangat
merugikan terutama pada jagung muda.
Tenaga
penyuluh dan frekuensi penyuluhan masih sangat terbatas sehingga proses pemberdayaan petani melalui alih teknologi tidak berjalan
dengan baik. Petani masih kurang dalam
mengakses informasi teknologi.
Inovasi
Teknologi yang Dibutuhkan
Inovasi teknologi dan
kelembagaan yang disusun berdasarkan analisis hasil PRA yang dituangkan dalam bentuk rancang bangun Lab.
Agribisnis Prima Tani dengan melibatkan Pemandu Teknologi dari Balitka.
Kemudian rancang bangun Lab Agribisnis tersebut disosialisasikan pada tingkat
Pemerintah Daerah.
Keberhasilan upaya pengembangan
komoditas untuk memanfaatkan potensi lahan kering tersebut di antaranya sangat
dipengaruhi oleh tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Pengembangan kelapa,
jagung dan padi gogo akan berjalan baik jika
petani merasa memperoleh pendapatan yang menguntungkan. Untuk itu diperlukan
teknologi atau pendekatan budidaya dan pasca panen kelapa, jagung dan padi gogo
yang mampu memberikan produktivitas tinggi persatuan luas lahan dan dengan
proses produksi yang efisien.
Pada usahatani tanaman kelapa petani memerlukan inovasi teknik budidaya tanaman kelapa terutama
masalah penanganan hama Sexava. Metoda yang dapat dicoba diterapkan oleh petani adalah dengan Pengendalian
secara hayati melalui pemanfaatan parasiotid telur Leefmansia bicolor. Pasca panen kelapa
berupa teknologi pengeringan kopra dengan alat pengering efisien, serta
teknologi pengolahan minyak kelapa yang awet dan higienis serta teknologi pengolahan kelapa seperti Nata de coco untuk tambahan pendapatan keluarga.
Pada tanaman pangan yaitu jagung dan padi gogo untuk peningkatan produktivitas adalah perlu adanya introduksi dan pengenalan benih unggul yang diikuti dengan
pendampingan. Benih padi/jagung sebaiknya yang mempunyai toleransi tinggi terhadap kekeringan dan kemasaman
tanah. Bertalian dengan
hal tersebut produksi jagung dan padi gogo dilakukan melalui pendekatan pengelolaan sumberdaya dan tanaman terpadu (PTT) pada lahan
kering. Teknologi penanganan pasca panen jagung
diintroduksikan untuk penangkaran benih terutama pemipilan, pengeringan dan
sortasi.
Disamping itu, perlu diintroduksikan teknologi pengolahan limbah jagung untuk
pakan ternak sapi dan pupuk organik (kompos).
Introduksi teknologi sapi
potong diarahkan pada manajemen pemeliharaan semi intensif, yaitu meliputi pengandangan,
pemberian pakan penguat (konsentrat), penanganan kesehatan ternak khususnya mencret dan cacingan, serta pembuatan
pupuk organik. Untuk mendukung ketersediaan pakan akan dilakukan
melalui pemanfaatan limbah jagung.
Untuk keberhasilan dalam
implementasi kegiatan usahatani dalam rangka mendorong kemandirian petani
meningkatkan pendapatannya selain diperlukan introduksi teknologi spesifik
lokasi, juga diperlukan pendampingan teknologi yang intensif terhadap aktivitas
kegiatan petani untuk memantau, mengevaluasi dan melaporkan perkembangan yang
terjadi.
Inovasi
Kelembagaan yang Dibutuhkan
Keberlanjutan
usaha termasuk usaha peternakan sangat terkait dengan keadaan kelembagaan yang
melingkupinya (Ella, 2002). Menurut Drajat dan
Syukur (2006), inovasi teknologi bersifat necessary
condition dan inovasi kelembagaan bersifat sufficient condition.
Inovasi kelembagaan mencakup semua elemen sistem agribisnis dan
keterkaitannya serta kebijakan pendukung pengembangan. Inovasi kelembagaan
dibutuhkan untuk menghantarkan inovasi teknologi dalam peningkatan produksi dan
pendapatan petani secara maksimal dan berkelanjutan.
Hal ini memerlukan satu model pemberdayaan kelompok tani melalui
rekayasa sosial, ekonomi, teknologi dan nilai tambah (Kasijadi, 2000).
Keuntungan penerapan model ini secara ekonomi adalah biaya produksi dapat
ditekan, terjadi efisiensi produksi, dan pendapatan anggota dapat meningkat.
Sedangkan keuntungan sosial yang dapat diperoleh adalah pendidikan bagi
masyarakat desa, kerjasama yang kuat antara anggota, dan menghidupkan kembali
suasana pembangunan di perdesaan (Mamondon Bah et al., 1997).
Berdasarkan
permasalahan yang dihadapi di lokasi pengkajian, perlu rekayasa kelembagaan yang kehadirannya diharapkan dapat mengintegrasikan
kelompok-kelompok petani/peternak, mengaktifkan fungsi kelompok tani sehingga mempermudah proses adopsi
inovasi pertanian, meningkatkan akses terhadap informasi dan teknologi,
lembaga permodalan, sarana input usahatani dan pemasaran hasil pertanian, serta
meningkatkan aktifitas
penyuluhan, baik dari segi tenaga maupun intensitasnya.
Kelembagaan yang harus ditumbuhkan adalah Gapoktan yang berperan untuk
fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi,
pemasaran hasil pertanian dan menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan
petani serta kerjasama dalam rangka peningkatan posisi tawar petani. Gapoktan
yang ditumbuhkan secara partisipatif diharapkan mampu menyentuh dan menggerakan
pertanian melalui unit usaha produksi dan sarana produksi, pengolahan hasil,
pemasaran dan jasa penunjang serta unit pengelola keuangan.
Dukungan Sarana dan Prasarana
yang Diperlukan
Untuk
mengatasi masalah kurangnya informasi teknologi, harus dibentuk Klinik Agribisnis sebagai tempat konsultasi dan pelayanan
teknologi pertanian
meliputi informasi teknologi budidaya tanaman dan ternak,
informasi teknologi pemupukan dan irigasi, informasi panen dan pasca panen, serta informasi pasar dan pemasaran. Pengelolanya terdiri dari
kader petani, PPL, Dinas Pertanian, dan BPTP Maluku Utara.
Untuk
mempercepat inovasi teknologi ke target sasaran yang lebih luas, langkah strategis
yang perlu dilakukan adalah diseminasi teknologi yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian media tercetak yang diiikuti dengan demplot. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005),
pembuktian langsung di lapangan akan memberikan dampak lebih besar karena petani
dapat melihat secara langsung. Dengan demikian
informasi yang diperoleh masyarakat akan bertambah kemudian diharapkan
masyarakat akan mencoba teknologi baru tersebut.
SIMPULAN
1.
Secara umum
permasalahan yang dihadapi petani di lahan kering Desa Akediri adalah rendahnya
produktivitas pertanian yang diusahakan baik tanaman perkebunan, tanaman pangan
dan ternak yang mengakibatkan rendahnya pendapatan petani.
2.
Permasalahan yang
dihadapi petani tidak saja menyangkut aspek teknis seperti budidaya dan pasca
panen, akan tetapi juga menyangkut aspek non teknis meliputi kelembagaan sosial
ekonomi pendukung kegiatan usahatani.
3.
Inovasi yang
dibutuhkan pada aspek teknis meliputi teknologi budidaya melalui PTT, teknologi
pengolahan pasca panen bagi komoditas tanaman pangan (jagung dan padi gogo) dan
perkebunan (kelapa). Pada usaha ternak, inovasi yang dibutuhkan adalah
teknologi pemeliharaan serta pembuatan
pupuk organik.
4.
Aspek non teknis
yang diperlukan untuk mendukung usahatani di lahan kering adalah penumbuhan
Gapoktan.
5.
Dukungan sarana
prasarana yang diperlukan adalah Klinik Agribisnis
sebagai tempat konsultasi dan pelayanan teknologi pertanian. Diseminasi
teknologi yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian
media tercetak yang diiikuti dengan demplot.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2004. Rancangan Dasar : Program Rintisan
dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2005. Prospek dan Pengembangan Agribisnis Kelapa. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2007. Produksi Benih Sumber Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Halmahera Barat.
2005. Profil WKPP Jailolo. Halmahera Barat.
Drajat, Bambang dan
Mat Syukur. 2006. Petunjuk Teknis Kelembagaan dalam Apresiasi Manajemen dan Konsep Prima Tani Untuk
Manajer Laboratorium Agribisnis. Makalah. Balitbang Deptan. Jakarta.
Ella, A. 2002. Crop Livestock System di Sulawesi Selatan : Suatu Tinjauan Pelaksanaan Kegiatan. Wartazoa Vol.
12 No. 1. p. 18-23. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Jakarta.
Kasijadi, F. 2000. Cooperative Farming sebagai
Model Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian Lahan Pertanian Lahan Sawah
di Jawa Timur. Disampaikan pada Diskusi Panel BPTP Karangploso. Makalah No:
0011.1111. Tangal 27 Juli 2000.
Kecamatan
Jailolo.2006. Potensi Desa di Kecamatan Jailolo 2006. Halmahera Barat.
Las, I., P. Hidayat dan A. Sasmita. 1997.
Ketersediaan dan Potensi Sumber Daya Air dan Pertanian Pangan. Inovasi
Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Hal. 120-136.
Las, I., I.N. Widiarta dan B. Suprihatno.2004.
Perkembangan Varietas dalam Perpadian Nasional. Inovasi Pertanian Tanaman
Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal. 1-25.
Mamondon Bah, A.; T. Hiratsuka dan Fatoumata
Bah, 1997. Management System of Guinea’s Cooperative Farming Organization and
Its Economic and Social Marits. Journal of Rural Problem Conference. Paper No.
5.
Pabbage, S. M., Zubachtirodin, dan Sania
Saenong. 2008. Kesiapan Teknologi dalam Peningkatan Produksi Jagung. dalam Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Prosiding Simposium V Tanaman
Pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Mundy, P. 2000. Investasi untuk Komunikasi di
Badan Litbang Pertanian. Makalah pada Spesialis Pelatihan dan Komnikasi
Participating Development of Agriculture Technology Project. Desember, 2000.
Musyafak, A dan T. M. Ibrahim. 2005. Strategi
Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis
Kebijakan Pertanian Vol. 3 No. 1. Hal. 20-37. PSE. Bogor.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951.
Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New
Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. Dan Geofisik, Djakarta.
Sri Wahyuni. 2000. Pemberdayaan Kelembagaan
Masyarakat Tani Mendukung Percepatan Adopsi dan Keberlanjutan Adopsi teknologi
Usahatani Lahan Rawa. Makalah disampaikan pada Workshop Sistem Usahatani Pada lahan Pasang Surut-ISDP. Badan
Litbang Pertanian, 26-29 Juni 2000. Cipanas-Bogor.
Suwarno, E. Lubis, A.
Hairmansis, dan A. Nasution. 2008. Pembenukan Paket 20 Varietas Padi Gogo untuk
Pengendalian Penyakit Blas dalam Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Prosiding
Simposium V Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar