KAJIAN USAHA TERNAK SAPI BALI (Bos sondaicus) PADA LAHAN
KERING DI KABUPATEN HALMAHERA BARAT
Indra H. Hendaru,
N. Saleh, dan M. Waraiya
Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Maluku Utara
email :handaruan@yahoo.com
ABSTRAK
Pengkajian pemeliharaan sapi potong semi intensif
dilaksanakan di Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat pada
tahun 2008.
Pengkajian
ini bertujuan untuk
mengkaji keragaan pemeliharaan sapi potong semi intensif di lahan kering. Pengkajian
dilaksanakan secara on farm
research di lahan petani dengan melibatkan sebanyak 8
peternak yang terdiri dari 3 peternak yang menerapkan teknologi introduksi dan
5 orang yang menerapkan
teknologi yang biasa
dilakukan petani (existing technology). Teknologi yang diintroduksikan dari budidaya
ternak yaitu perbaikan manajemen berupa pemeliharaan ternak secara semi
intensif (siang digembalakan dan malam dikandangkan), pemberian pakan penguat
(dedak) sebanyak 1,5 kg/ekor/hari, pemberian mineral
garam dan air minum tersedia penuh sepanjang hari (adlibitum).
Kotoran sapi difermentasi dan diolah menjadi kompos. Sapi
yang dipelihara dengan
teknologi introduksi memiliki pertambahan berat badan harian (PBBH)
0,221 kg/ekor/hari sedang sapi kontrol 0,126 kg/ekor/hari. Pendapatan yang diperoleh dari
usaha pemeliharaan sapi Bali selama 90 hari dengan
teknologi introduksi meningkat
dari Rp. 281.125 menjadi Rp. 1.765.625. Nilai R/C yang
dihasilkan
meningkat dari 1,02 menjadi 1,10.
Kata kunci: Usaha ternak,
sapi Bali, pemeliharaan semi intensif, lahan kering,
PENDAHULUAN
Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara dengan luas wilayah
223.466,7 ha,
memiliki ekosistem lahan kering dataran rendah iklim basah. Daerah ini memiliki potensi cukup
besar untuk pengembangan ternak sapi potong karena dukungan sumberdaya lokal
berupa pakan hijauan, limbah pertanian, ramban, dan lain-lain cukup tersedia.
Populasi ternak sapi di Kabupaten Halmahera Barat pada tahun 2007 sebanyak
6.709 ekor dengan jumlah terbanyak sapi Bali, pemotongan 412 ekor dan produksi
daging 84,575 ton (BPS Halbar, 2008).
Secara umum, di Kabupaten Halmahera Barat sapi Bali diusahakan sebagai
ternak rakyat yang dikelola secara tradisional dengan modal, teknologi, dan SDM
terbatas, serta diusahakan dalam skala kecil. Ditinjau dari faktor teknis,
pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak relatif sederhana dengan tingkat
penerapan teknologi tepat guna sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan petani beternak secara sambilan
dan umumnya ternak sapi digunakan sebagai ternak kerja untuk
pengolahan lahan dan tabungan.
Pemeliharaan sapi di daerah ini biasanya dilakukan dengan cara
tradisional/ekstensif. Sapi dilepas atau
digembalakan pada pagi hingga sore hari dengan diikat-pindah pada kebun atau lahan-lahan
kosong yang tidak ditanami tanaman semusim, sedangkan pada malam hari diikat di
dekat rumah. Pakan diberikan sepenuhnya
berupa hijauan segar seperti rumput alam, walaupun sebagian kecil telah
memanfaatkan limbah pertanian seperti jerami jagung (pada saat musim panen). Kesadaran petani relatif rendah terhadap pelayanan
kesehatan ternaknya, semata-mata dilakukan bilamana ada kegiatan dari instansi
terkait
(BPTP Maluku Utara, 2007).
Pada sistem usaha tani di lahan kering, peran ternak dapat dimasukkan
sebagai bagian integral sistem usaha tani untuk saling mengisi dan bersinergi
yang memberi hasil dan nilai tambah optimal. Upaya peningkatan produktivitas
sapi potong dan pendapatan petani di lahan kering dilakukan melalui perbaikan sistem
usaha ternak sapi potong secara bertahap dengan berbagai masukan teknologi,
diantaranya penggunaan kandang kelompok dan pemberian pakan penguat dari
sumberdaya lokal (Yasa et al, 2006). Pengkajian ini bertujuan untuk mengkaji keragaan
pemeliharaan sapi potong semi intensif di lahan kering.
METODOLOGI
Kajian dilaksanakan di Desa Akediri, Kecamatan Jailolo, Kabupaten
Halmahera Barat, dari Mei sampai Agustus 2008. Desa Akediri adalah lokasi
pelaksanaan Primatani dengan salah satu komoditas andalan yang dikembangkan
adalah ternak sapi potong. Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah bakalan
sapi Bali dan bahan lainnya yaitu dedak, pupuk Urea, Probion, dan Pita Ukur.
Kegiatan pengkajian dilaksanakan di lahan petani (on farm research). Pendekatan dilakukan dengan cara kerjasama
dengan peternak (peternak menyediakan ternak dan tenaga kerja). Peneliti, penyuluh dan teknisi dari BPTP
Maluku Utara berperan sebagai motivator dan pemandu teknologi. Peternak yang
terlibat sebanyak 8 orang terdiri dari 3 orang anggota Gapoktan Bhineka Prima
dengan introduksi teknologi dan 5 orang peternak kontrol. Jumlah ternak sapi
yang diamati untuk masing-masing kelompok perlakuan sebanyak 5 ekor sapi Bali
yang berumur sekitar 1-1,5 tahun dengan rataan berat badan awal 179,6 kg
(perlakuan) dan 176,1 kg (kontrol).
Teknologi budidaya ternak yang diintroduksikan yaitu pemeliharaan ternak
secara semi intensif (siang digembalakan dan malam dikandangkan), pemberian
pakan penguat (dedak) sebanyak 1,5 kg/ekor/hari
dicampur garam, diberikan pada pagi hari sebelum pemberian pakan hijauan (Guntoro,
2002). Dedak yang diberikan pada ternak,
terlebih dahulu diadaptasikan selama 3 minggu yaitu pada minggu pertama
diberikan 0,5 kg/ekor/hari, minggu kedua 1 kg/ekor/hari dan minggu ketiga 1,5
kg/ekor/hari. Pemberian air minum tersedia penuh
sepanjang hari (adlibitum). Kotoran sapi yang dihasilkan
difermentasi menggunakan probiotik (Probion) selama 3 minggu sehingga
dihasilkan kompos. Bahan yang diperlukan dalam pembuatan kompos
yaitu : kotoran sapi 800 kg, Probion 2,5 kg, urea 2,5 kg, serbuk gergaji 50 kg,
jerami/rumput 100, dedak 50 kg dan air (Murtiyeni dkk, 2006).
Teknologi
petani (sebagai kontrol)
adalah pemberian hijauan
makanan ternak (HMT) dari
alam, tanpa pengandangan, tanpa
suplemen dan tanpa
pengendalian kesehatan ternak.
Pengumpulan data usahatani dari petani kooperator dan
non kooperator dilakukan dengan metode farm record keeping. Data yang
dikumpulkan meliputi data bobot badan sapi awal dan akhir pengkajian serta
produksi kompos. Data pertambahan bobot badan harian ternak diperoleh dari
hasil perhitungan selisih BB akhir – BB awal dibagi dengan jumlah hari pengamatan
(90 hari). Data yang diamati kemudian ditabulasi dan dianalisis
secara deskriptif.
Untuk pengukuran bobot badan sapi Bali jantan digunakan rumus :
Bobot Badan (Kg) =
Panjang Badan (cm) x (Lingkar Dada (cm))2
11045
Sumber :
Guntoro, 2002.
Data pendukung lain yang dikumpulkan adalah karakteristik wilayah,
karakteristik peternak (umur, tingkat pendidikan, pemilikan ternak dan
pengalaman beternak) dan usaha ternak, nilai output dan
input teknologi, penggunaan
sarana produksi, dan penggunaan
tenaga kerja. Metode pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara langsung dengan menggunakan blanko kuesioner,
kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
Untuk melihat manfaat ekonomi sistem usaha peternakan, maka
dilakukan analisis ekonomi usahatani, yaitu analisis B/C Ratio. Sedangkan untuk melihat
teknologi introduksi yang direkomendasikan dapat diterima atau tidak, maka
dilakukan perhitungan MBCR (Marginal
Benefit Cost Ratio).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi Pengkajian
Menurut Nasrullah, dkk
(2007), secara geografis lokasi pengkajian terletak antara 1o6’36’’(BT)
dan 1o8’45’’(LU). Keadaan iklim tergolong cukup basah dan musim kemarau kurang begitu
nyata. Curah hujan tahunan sebesar 2.601 mm, dengan 2 puncak musim hujan (Mei
dan Desember), sehingga cukup menguntungkan untuk usaha pertanian. Zone
agroklimatnya termasuk B1 (Oldeman et all,
1977). Analisis
data iklim periode 1993-2002 menunjukkan suhu rerata tahunan berkisar 26,6oC,
kecepatan angin 1,8 m/detik, kelembaban udara relatif 83,6% sepanjang tahun dan
lama penyinaran matahari bulanan 62,9 jam. Curah hujan yang merata sepanjang tahun memberikan jaminan ketersediaan
pakan hijauan makanan ternak yang tersedia cukup dan teratur sepanjang tahun.
Gambar 1. Distribusi curah hujan bulanan di Kecamatan
Jailolo Kabupaten Halmahera Barat
Berdasarkan informasi ini maka wilayah
kajian masih berada pada kisaran temperatur yang nyaman bagi
sapi-sapi dari Bos indicus yang bisa hidup nyaman pada suhu udara antara 21,250 C – 34,80 C (Payne et all, 1997).
Karakteristik Peternak
Identitas utama
yang dikemukakan dalam uraian berikut dibatasi pada keragaan umur, tingkat
pendidikan, pengalaman beternak dan rata-rata pemilikan ternak (Tabel 1).
Tabel 1. Karakterisitik Peternak dalam Usaha Ternak Sapi
Potong
No
|
Uraian
|
Rata-rata
|
|
1
|
Umur (th)
|
45,6
|
|
2
|
Tingkat Pendidikan (thn)
|
10,8
|
|
3
|
Pemilikan Ternak (ekor)
|
1-2
|
|
4
|
Pengalaman Beternak (thn)
|
15
|
Sumber : Data primer, 2008
Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa rata-rata umur
peternak adalah 45,6 tahun. Pada tingkat umur tersebut merupakan masa di mana
peternak masih sangat produktif sehingga diharapkan usaha ternak yang dilakukan
dapat mencapai titik optimal. Menurut aturan yang berlaku, jika seseorang
memiliki umur pada kisaran 15 – 55 tahun digolongkan sebagai orang produktif.
Tingkat pendidikan rata-rata peternak adalah 10,8 tahun. Ini menunjukkan bahwa
rata-rata peternak telah dapat menyelesaikan pendidikan dasar dan sebagian
besar telah mendapatkan pendidikan lanjutan pertama bahkan lanjutan atas.
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada kemampuan dalam menerima, memahami,
dan mengadopsi teknologi .
Rata-rata ternak sapi yang dimiliki oleh peternak
adalah 1- 2 ekor. Jumlah tersebut masih dapat menunjang kebutuhan keluarga
untuk keperluan tabungan, menyekolahkan anak serta aktivitas sosial lain
seperti kurban, pernikahan dan sebagainya. Berdasarkan hasil baseline survei
tahun 2008, kontribusi usaha ternak terhadap pendapatan petani adalah sebesar
11,3% (BPTP Maluku Utara, 2008). Faktor lain yang cukup memberi pengaruh
terhadap keberhasilan usaha ternak sapi potong yaitu pengalaman usaha ternak.
Rata-rata pengalaman usaha ternak adalah 15 tahun. Pengalaman tersebut dapat
mempermudah dalam proses adopsi teknologi walaupun secara nyata petani tetap
harus didampingi dan dikawal oleh penyuluh/peneliti.
Karakteristik Usaha Ternak
Di Desa Akediri, ternak sapi yang dipelihara adalah
sapi Bali tersebar di seluruh wilayah desa, yang dipelihara oleh petani sebagai
usaha sampingan atau bersifat sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat diuangkan saat
dibutuhkan. Ternak sapi juga dipelihara sebagai tenaga kerja dalam usaha tani
yaitu untuk pengolahan tanah dan alat angkut hasil pertanian. Pemeliharaan sapi di daerah ini biasanya dilakukan
dengan pola penggemukan secara tradisional/ekstensif. Ternak sapi diikat-pindah pada kebun atau lahan-lahan kosong yang
tidak ditanami tanaman semusim. Dalam penjualan ternak hidup dengan melihat
eksterior ternak per ekor tergantung besar badannya (Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Maluku Utara, 2006).
Kinerja Teknologi
Usahatani
Produktivitas Ternak
Jumlah
ternak yang rutin masuk dalam kandang kelompok awalnya adalah 5 ekor sapi Bali
jantan. Pada manajemen pemeliharaan, sapi tidak dikandangkan secara terus
menerus, pada siang hari dilepaskan di luar kandang (tegalan) untuk mencari
rumput sendiri. Monitoring manajemen pengelolaan ternak terutama seperti
memberi makan, membersihkan kandang dan mengambil kotoran sampai saat ini masih
belum menemui masalah karena para pemilik sapi masih ada hubungan kekeluargaan.
Mereka memberi
makan ternak secara bergantian tanpa membedakan masing-masing kepemilikan sapi.
Keragaan
produksi ternak sapi ditampilkan pada Tabel 2, menunjukkan bahwa PBBH sapi
perlakuan/kooperator yang diberi pakan tambahan berupa dedak dihasilkan sebesar
0,221 kg/ekor/hari sedang sapi kontrol 0,126 kg/ekor/hari, atau dengan kata lain sapi perlakuan lebih
tinggi sekitar 176,8% dari pemeliharaan petani (kontrol). Hal ini menunjukan
bahwa penambahan konsentrat berupa dedak sebesar 1,5 kg/hari memberikan
pengaruh terhadap PBBH sapi Bali.
Hal ini
sejalan dengan Handiwirawan dan Subandriyo (2004) yang
menyatakan bahwa rataan laju PBBH sapi Bali yang diberi rumput lapangan tanpa
diberi pakan tambahan adalah 175,75 g/ekor/hari, namun PBB harian meningkat
jika diberi pakan tambahan konsentrat 1,8% hingga mencapai 313,88 g/ekor/hari.
Tabel 2. Keragaan Ternak Sapi Bali yang Diamati Di Desa
Akediri, Kec. Jailolo, Kab. Halmahera
Barat.
No
|
Uraian
|
Teknologi
Introduksi
|
Teknologi
Petani
|
|
1
|
PBBH (kg/ekor/hari)
|
0.221
|
0.126
|
|
2
|
Konsumsi Dedak
(kg/ekor/hari)
|
1.5
|
0
|
|
3
|
Produksi Kompos
|
1.200
|
0
|
Sumber : Data primer diolah
PBBH
yang dihasilkan pada pengkajian ini tidak terlalu besar yaitu 0,221/ekor/hari.
Hal ini disebabkan karena sapi yang digunakan adalah sapi Bali (lokal) yang
pertambahan bobot badan hariannya relatif rendah. Salfina dkk (2001) menyatakan
bahwa sapi-sapi lokal (Madura, Ongole, Bali dan Grati) kurang
ekonomis, karena sapi-sapi lokal kurang
responsif terhadap pakan bermutu
tinggi, walaupun Sapi Bali adalah jenis sapi lokal yang sudah adaptif
pada berbagai tipe lahan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan Abduh dan Paat
(1993), yang melaporkan bahwa pemberian dedak
padi pada sapi Bali yang dilepas bebas merumput belum mampu
memberikan pertambahan bobot badan yang
optimal.
Produksi Kompos
Jumlah
kotoran sapi yang dihasilkan per ekor per hari rata-rata 5 kg berat basah,
sehingga selama pemeliharaan, 5 ekor sapi dalam kandang mampu menghasilkan
kotoran sekitar 2.250 kg berat basah. Kotoran tersebut kemudian difermentasi
selama 3 minggu dan dihasilkan sekitar 1200 kg kompos atau terjadi penyusutan
sekitar 50%. Potensi penyediaan kompos dari 5 ekor sapi cukup besar. Bila dari
6701 ekor sapi dipelihara secara semi intensif, akan dihasilkan sekitar 16,75
ton kompos selam 3 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pengembangan kompos
di Kabupaten Halmahera Barat cukup besar.
Analisa Usahatani
Hasil Analisis Finansial Usaha Ternak Sapi
Tabel 3
menunjukkan hasil analisis biaya dan pendapatan usahatani ternak sapi dengan
asumsi bahwa harga daging hidup Rp.17.500/kg, penyusutan kandang Rp.66.666,67/3
bulan, penyusutan peralatan 15.750/3 bulan, upah tenaga kerja 1 HOK (Hari Orang
Kerja) Rp.25.000, harga dedak Rp.500/kg, harga kompos yang dihasilkan dalam
keadaan kering Rp.2.000/kg.
Hasil analisis diketahui bahwa
nilai R/C yang diperoleh dari teknologi yang diintroduksikan per petani
kooperator sebesar 1,10 sedangkan kontrol 1,02. Pada pengkajian ini nilai R/C
yang dihasilkan dari teknologi introduksi tidak terlalu tinggi karena adanya
penambahan biaya tetap terutama untuk pembelian pakan (dedak) dan alokasi
tenaga kerja. Selama
pengkajian digunakan dedak untuk pakan sebanyak 700 kg dengan nilai Rp.
350.000, atau 54,01% dari biaya tetap yang harus dikeluarkan selama pengkajian.
Sedangkan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pemeliharaan dengan teknologi yang
diintroduksikan lebih banyak yaitu 1 orang menggunakan alokasi waktu sekitar
0,75 jam/hari atau 0,125 HOK untuk mencari rumput, pemberian pakan, pembersihan
kandang, pengumpulan kotoran dan ikat pindah sapi serta 2 jam setiap minggu
untuk pembuatan kompos. Sedang pemeliharaan kontrol hanya memerlukan waktu 0,5 jam/hari atau 0,125
HOK untuk ikat pindah sapi.
Meskipun nilai R/C pada
pengkajian ini tidak terlalu tinggi, namun bila dilihat dari pendapatan
usahatani sapi dengan menggunakan
teknologi introduksi
memberikan keuntungan lebih
tinggi daripada teknologi petani
(Tabel 3). Pendapatan yang diperoleh dari
usaha pemeliharaan sapi selama 90 hari dengan
teknologi introduksi pada
sapi Bali meningkat dari
Rp. 281.125 menjadi Rp. 1.765.625. Nilai R/C yang dihasilkan meningkat dari 1,02 menjadi 1,10. Sedangkan dari analisis imbangan
biaya diperoleh nilai MBCR 1,75. Ini berarti bahwa penggemukan dengan teknologi
introduksi layak untuk dikembangkan.
Agar peningkatan nilai tambah
pengandangan ternak lebih meningkat, maka upaya memanfaatkan kotoran untuk
biogas layak diusahakan dan diterapkan oleh petani. Menurut Widodo dkk (2007),
pemanfaatan kotoran ternak untuk biogas pada pemeliharaan 10 ekor sapi memberikan
nilai B/C 1,35 dengan memberikan pendapatan dari instalasi biogas Rp.
600.000/bulan. Biogas yang
dihasilkan dimanfaatkan sebagai sumber energi kompor gas dan lampu penerangan.
Tabel. 3. Analisis Usahatani
Pemeliharaan Sapi Bali Di Desa Akediri, Kec. Jailolo, Kab. Halmahera Barat.
SIMPULAN
Dari hasil kajian dapat disimpulkan :
1.
Introduksi teknologi pemeliharaan
sapi Bali dengan pemeliharaan
semi intensif dapat
meningkatkan bobot sapi Bali dari 0,126 kg/ekor/hari menjadi
0,221 kg/ekor/hari yang sekaligus
memberi nilai tambah dengan memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai pupuk
organik.
2.
Usaha penggemukan sapi Bali dengan pemeliharaan
semi intensif bersama
dengan pemanfaatan limbah, cukup menguntungkan dengan memberikan kontribusi
pendapatan bersih sebesar Rp. 1.765.625,- dengan R/C sebesar 1,10 sehingga cukup layak untuk dilanjutkan.
3.
Agar peningkatan nilai tambah
pengandangan ternak lebih meningkat, maka upaya memanfaatkan kotoran untuk
biogas layak diusahakan dan diterapkan oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, U. dan P. C. Paat.
1993. Pemanfaatan Dedak Padi untuk
Peningkatan Produktivitas Sapi Bali
Jantan yang Digembalakan
Pada Pastura Alam. Prosiding
Pertemuan Pengolahan Komunikasi
Hasil Penelitian Peternakan
di Sulawesi Selatan. Sub
Balai Penelitian Ternak Gowa :
94-98.
BPTP Maluku Utara, 2007. Laporan PRA Prima Tani Desa Akediri, Kecamatan
Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. BPTP Maluku Utara, Ternate.
BPTP Maluku Utara, 2008. Laporan Baseline Survei Prima Tani Desa Akediri,
Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. BPTP Maluku Utara, Ternate.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Maluku Utara, 2006. Buku Statistik Peternakan. Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Maluku Utara. Ternate.
Guntoro, S. Membudidayakan Sapi Bali. 2002. Kanisius. Yogyakarta.
Eko Handiwirawan dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya
Genetik Sapi Bali. Proc. Wartazoa Vol 14 No 3. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Jakarta.
Murtiyeni, B. Wibowo, I W.
Mathius. A. Suparyanto, B. Kushartono Dan Fery Munir. 2006. Membuat Kompos Dari Limbah Kakao dan Ternak.
Kerjasama Balitnak dengan Poor Farmer Project-Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Nasrullah, E. Margomulyo dan E. Sosiawan, 2007. Identifikasi Dan Evaluasi Potensi Lahan Untuk Mendukung Prima Tani Di Desa Akediri, Kec.
Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat,
Maluku Utara. Laporan Sementara. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Oldeman,
L.R, and Darmiyati S., 1977. The Agroclimatic Map of Maluku, scale 1:
2,500,000.Contr. Centre. Res. Inst. Agric. Bulletin No.60, Bogor.
Payne,
W.J.A. And J. Hodges. 1997. Tropical Cattle: Origin, Breeds and Breeding
Policies. Blackwell Science.
Salfina, D.D. Siswansyah,
M. Sabran dan
Sunardi. 2001. Pengkajian
Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Perbaikan Manajemen Pakan
dan Kesehatan Ternak di Lahan Kering dan Pasang Surut
Kalimantan Tengah. Laporan Akhir. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Teguh Wikan
Widodo, Ana N., A.Asari dan Astu Unadi. 2007. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung Agribisnis Di
Pedesaan. Balai Besar Mekanisasi Pertanian.
Serpong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar